Lamongan, Media Pojok Nasional –
Di balik senyapnya balai desa, ada arogansi yang sedang tumbuh. Di balik senyum kepala desa, tersembunyi racun kekuasaan yang siap menyembur siapa saja yang bertanya tentang uang rakyat. Dan itulah yang terjadi di Desa Sidorejo, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan.
Namanya Yomiarto, seseorang yang dipercaya memimpin desa, mengelola Dana Desa, menjalankan program negara. Tapi ketika wartawan datang untuk menjalankan tugasnya, bukan data yang keluar, melainkan amukan, caci maki, penghinaan dan pelecehan intelektual paling brutal.
“Sopo koen, wes gak usah takok-takok!”
“Kowe modal 300 ribu wes iso dadi wartawan, aku dadi kades modal akeh!” hardiknya.
Kepala desa yang digaji dari keringat rakyat, yang memegang kekuasaan atas anggaran negara, justru meledak liar seperti preman jalanan. Etika kepemimpinan terkoyak. Akhlak jabatan hancur tak bersisa. Ia hina profesi wartawan, ia lecehkan tugas jurnalistik yang dijamin undang-undang. Dan lebih parah, ia nyatakan jabatan kepala desa adalah hasil dari jual beli, bukan amanah.
Kalimat “jadi kades harus modal besar” adalah pengakuan gelap yang tak terbantahkan. Yomiarto membuka rahasia busuk bahwa kepemimpinan di desa bukan lagi tentang rakyat, tapi tentang investasi dan pengembalian modal. Maka wajar jika saat ditanya soal mobil siaga desa yang mati pajak, ia membentak dan mengusir, “Lapo kok takok mobil siaga? Awakmu sopo, urusanmu opo!…?”
Seolah lupa bahwa mobil siaga dibeli dari uang rakyat. Bukan uang warisan nenek moyangnya.
Perilaku Yomiarto Sp adalah tamparan keras terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Pasal 52 UU KIP menyebut, pejabat yang menutup informasi publik secara sengaja bisa dikenai sanksi administratif berat.
Pasal 18 ayat (1) UU Pers jelas menyebut, siapapun yang menghalangi tugas wartawan bisa dipenjara 2 tahun atau didenda Rp500 juta.
Tapi apa peduli Yomiarto..? Dia bertindak seolah kebal hukum, kebal moral, dan kebal malu.
Dia bukan kepala desa, dia adalah bencana kecil yang menyamar jadi pemimpin. Dia bukan pelayan rakyat, dia adalah bayangan gelap di balik meja kekuasaan.
Ketua Umum DPP LSM Gempar, Sulistiyanto (Bang Tyo), menyebut bahwa sikap Yomiarto adalah simbol matinya hati nurani di pemerintahan desa.
“Kalau jabatan dibeli, maka seluruh tindakan selanjutnya adalah dagang. Yang dipikir cuma cara mengembalikan modal. Maka wajar jika saat ditanya, jawabannya bukan data, tapi caci maki!” tegasnya.
Bang Tyo menegaskan, hak bertanya wartawan adalah hak mutlak. Wartawan bukan penonton. Mereka pengawal. Mereka penyambung lidah rakyat. Dan saat mereka dihina, yang sebenarnya dihina adalah suara masyarakat.
“Kalian tanya soal dana desa, itu uang rakyat, bukan uang kepala desa. Jangan biarkan desa dikuasai bandit berseragam jabatan.” tambahnya.
Redaksi Menyerukan, egera Evaluasi Yomiarto. Periksa. Copot jika perlu. Jangan tunggu uang rakyat dikubur bersama moral yang sudah lebih dulu mati.
Ketika pemimpin takut ditanya soal uang negara, maka sudah pasti ada yang busuk sedang ia sembunyikan.
Red.