Lamongan, Media Pojok Nasional –
Aroma busuk dugaan penipuan rekrutmen tenaga honorer di Kabupaten Lamongan kian menyengat. Di tengah tumpukan bukti percakapan digital, para terduga yang disebut-sebut terlibat justru memilih berlindung di balik klaim “hanya korban”. Mulai dari A (warga sipil), D (penyuluh sosial Dinsos), hingga Ms (pegawai RSUD Ngimbang), semuanya kompak saling lempar tanggung jawab.
Namun yang kini menjadi sorotan paling tajam adalah sikap Direktur RSUD Ngimbang, dr. Wasian, yang justru memunculkan gelagat panik. Sikapnya yang terkesan buru-buru “meluruskan” keadaan, bahkan rela menemui orang-orang yang tidak memiliki kompetensi atau otoritas resmi dalam penyelesaian kasus ini, justru membuka pintu keraguan besar: apakah Dirut terlibat?
Sumber internal menyebut bahwa dr. Wasian beberapa kali menjalin komunikasi intensif dengan S sosok luar struktur yang muncul tiba-tiba dan menjanjikan “semua akan baik-baik saja”. Padahal S bukan ASN, bukan panitia seleksi, bahkan tidak memiliki peran formal apa pun dalam institusi kedinasan, Namun, keterlibatan S dalam menjembatani komunikasi justru disambut terbuka oleh Dirut.
Pertanyaannya, kalau Dirut tidak terlibat, kenapa harus repot-repot menemui orang luar yang tidak kompeten? Kenapa sampai turun tangan langsung? Ini menunjukkan ada ketakutan yang tidak biasa.
Meski dalam pernyataan resminya dr. Wasian membantah adanya rekrutmen melalui jalur belakang, ia tidak pernah membantah secara eksplisit intensitas hubungannya dengan S. Bahkan beberapa pihak menyebut pertemuan mereka bersifat “taktis” untuk mencegah meluasnya ekspos kasus ke ranah hukum dan media.
Sementara itu, A dan D ,dua figur utama dalam jalur perantara, tetap bertahan pada narasi bahwa mereka tidak tahu-menahu soal alur uang dan hanya menyampaikan informasi. Padahal keduanya diduga kuat telah menerima aliran dana dari para calon tenaga honorer. Uang tersebut diklaim untuk “memuluskan jalan” masuk kerja, namun hingga kini tidak ada satu pun dari mereka yang dikembalikan.
Kini situasi berbalik arah. Ketika seluruh pihak saling cuci tangan, publik justru semakin curiga,
Kenapa uang sudah diterima, tapi tidak ada yang merasa bersalah?
Kenapa semua mengaku korban, padahal jelas ada bukti keterlibatan aktif?
Dan kenapa seorang direktur rumah sakit terlihat gelisah, sampai turun langsung menemui pihak-pihak tak resmi?
Pertanyaan-pertanyaan ini menyatu dalam satu simpul besar: apakah Dirut RSUD Ngimbang hanya korban pencatutan, atau justru bagian dari jaring pengatur? Jika tidak terlibat, mengapa harus takut? Jika bersih, mengapa harus sembunyi di balik “klarifikasi” terbatas?
Kasus ini bukan sekadar soal uang, tapi soal integritas institusi dan transparansi birokrasi. Jika tidak dituntaskan secara hukum, maka akan menjadi preseden gelap bahwa kejahatan bisa diselesaikan dengan klaim sepihak dan jaringan tidak resmi.
Masyarakat menunggu jawaban, bukan pembelaan. (hamba Allah).