Represi Berkedok Hukum: Jurnalis Hendly Mangkali Dikriminalisasi, Demokrasi di Ujung Tanduk!

Palu, Media Pojok Nasional – Sebuah skandal yang kian menohok kebebasan pers kembali meruak, menampilkan wajah buram aparat penegak hukum yang alih-alih melindungi, justru tampil sebagai aktor kriminalisasi sistematis terhadap jurnalis. Pada Kamis, 26 Juni 2025, Jurnalis Hendly Mangkali dipaksa menjalani interogasi maraton selama lebih dari 7 jam di Direktorat Reserse Siber (Ditresiber) Polda Sulteng. Ironisnya, 47 pertanyaan yang mencecar Hendly bukan tentang substansi dugaan pelanggaran UU ITE, melainkan tentang legalitas dan kredibilitasnya sebagai seorang jurnalis. Ini bukan sekadar pemeriksaan, ini adalah upaya terang-terangan untuk membungkam kritik dan menghabisi independensi pers.

Insiden ini bukan hal baru. Hendly Mangkali sebelumnya pernah menjadi target, ditetapkan sebagai tersangka hanya karena unggahan di Facebook, tuduhan yang akhirnya rontok di meja praperadilan. Namun, kemenangan itu ternyata tak cukup menghentikan manuver represif. Kini, penyidik melancarkan taktik licik dengan menargetkan legalitas profesi jurnalistiknya—sebuah langkah mundur yang membuktikan ketidakpahaman mendalam, atau bahkan kesengajaan yang disengaja, untuk mengabaikan peran vital pers dalam pilar demokrasi.

Pertanyaan mendetail tentang sertifikat uji kompetensi wartawan muda dan status Pemimpin Redaksi jelas merupakan upaya delegitimasi. Aparat menggunakan dokumen dari Dewan Pers, yang seharusnya menjadi pelindung, justru sebagai senjata untuk memojokkan jurnalis. Ini adalah parodi keadilan, sebuah tamparan keras bagi komitmen yang seharusnya dijunjung tinggi terhadap kebebasan pers.

Sikap kooperatif Hendly Mangkali, bahkan hingga permintaan maaf atas “pecahnya” kubu jurnalis, menunjukkan tekanan psikologis luar biasa yang dialami para pencari kebenaran. Permohonan maaf itu, sejatinya, adalah manifestasi tekanan psikologis ekstrem yang dialami para pencari kebenaran. Puncaknya, pengakuan bahwa ia mungkin akan jeda dari profesi jurnalistik setelah kasus ini, adalah lonceng kematian bagi demokrasi. Ini bukan sekadar jeda, ini adalah pengakuan kekalahan seorang jurnalis yang dipaksa menyerah demi keamanan diri dan keluarga, sebuah preseden berbahaya bagi masa depan pers di Indonesia.

MOU Polri dan Pers: Ilusi Perlindungan di Tengah Represi Nyata?, Kasus Hendly Mangkali menjadi bukti telanjang bahwa Memorandum of Understanding (MOU) antara Polri dan Dewan Pers hanyalah sebatas kertas tanpa makna. MOU ini digagas untuk memastikan sengketa pers diselesaikan melalui mekanisme etik jurnalistik yang diatur Dewan Pers, bukan melalui jerat pidana. Namun, apa yang terjadi? Pemeriksaan brutal dan pengutak-atikan legalitas jurnalis justru menunjukkan pengkhianatan terhadap semangat MOU tersebut. Aparat seolah sengaja menutup mata terhadap fakta bahwa produk jurnalistik tidak dapat dipidanakan, sebuah prinsip fundamental yang seharusnya dipegang teguh.

Mahkamah Konstitusi Berbicara, Hukum Masih Tuli: Produk Jurnalis Tidak Dapat Dipidanakan dan UU ITE Tidak Berlaku untuk Jurnalis Sesuai Putusan MK!

Sudah saatnya kita tegaskan, produk jurnalistik tidak dapat dipidanakan! Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara gamblang menyatakan fungsi kontrol sosial pers. Setiap sengketa yang timbul dari pemberitaan wajib diselesaikan melalui Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh Dewan Pers, sesuai Kode Etik Jurnalistik.

Lebih jauh, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) TIDAK BERLAKU bagi produk jurnalistik! Ini bukan hanya tafsir, melainkan telah diperkuat oleh serangkaian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan-putusan penting seperti Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009 secara eksplisit menegaskan bahwa delik pencemaran nama baik dalam UU ITE harus merujuk pada KUHP dan tidak boleh ditafsirkan secara semena-mena untuk membungkam kebebasan berekspresi.

Teranyar, Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 telah mempertegas bahwa pasal pencemaran nama baik di UU ITE TIDAK BERLAKU untuk pemerintah, korporasi, dan kelompok, melainkan hanya untuk individu! Ini adalah penegasan krusial yang seharusnya melindungi kritik terhadap kekuasaan yang disuarakan melalui pers. Prinsip lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan hukum umum) secara mutlak harus diterapkan: UU Pers adalah payung hukum utama untuk sengketa pers, bukan UU ITE yang sejatinya dirancang untuk kejahatan siber, bukan kritik jurnalistik.

Uji Kompetensi Wartawan (UKW): Alat Pengukur Profesionalisme atau Jerat Kriminalisasi?, Penyidik yang mencecar detail sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Hendly Mangkali (yang notabene adalah Wartawan Muda dan Pemimpin Redaksi) patut dipertanyakan motifnya. Secara legal formal, UKW bukan syarat mutlak untuk menjadi wartawan atau menduduki posisi Pimred berdasarkan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Meskipun Dewan Pers mendorong UKW sebagai peningkatan profesionalisme dan kredibilitas, serta merekomendasikan Wartawan Utama untuk Pimred, upaya aparat menggunakan UKW dalam konteks pemeriksaan pidana justru mengisyaratkan hal berbahaya: UKW berpotensi dialihfungsikan dari alat ukur profesionalisme menjadi senjata untuk menggali “legalitas” atau “legitimasi” profesi, bahkan bisa menjadi dalih untuk mengkriminalisasi jurnalis yang dianggap “tidak kompeten” atau “tidak bersertifikat.”

Ini adalah alarm bahaya. Jika aparat mulai mempertanyakan kompetensi profesional jurnalis dalam proses hukum pidana, maka semangat perlindungan pers akan runtuh. Aparat seharusnya merujuk pada MOU Polri-Dewan Pers yang mengedepankan penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers, bukan dengan menginterogasi standar internal profesi pers.

Kepada seluruh wartawan, ini adalah saatnya bangkit dan bersolidaritas! Jangan biarkan kasus Hendly Mangkali menjadi preseden yang menghancurkan kebebasan kita. Mari kita tolak segala bentuk intervensi dan kriminalisasi. Solidaritas adalah satu-satunya benteng kita untuk menjaga independensi pers. Kasus ini bukan hanya tentang Hendly, ini adalah pertaruhan besar bagi masa depan demokrasi dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.

Apakah Anda percaya penegakan hukum di Indonesia benar-benar berpihak pada kebebasan pers, atau kasus Hendly Mangkali ini adalah puncak gunung es dari praktik-praktik kriminalisasi yang lebih luas?

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *