Jangan Pernah Merasa Dirimu Penting Bagi Orang Lain, Laku Sunyi dari Kepohkidul

Bojonegoro, Media Pojok Nasional
Di sebuah desa kecil bernama Kepohkidul, Kecamatan Kedungadem, kata-kata lahir bukan dari panggung politik, melainkan dari ruang batin yang hening. Kepala desa setempat, Samudi, mengucapkan satu kalimat yang tak biasa,

“Jangan pernah merasa dirimu penting bagi orang lain.”

Kalimat itu tak meledak seperti orasi. Ia turun perlahan seperti kabut dini hari. Tapi justru di sanalah letak kuasanya,bia memaksa siapa pun yang mendengarnya untuk menunduk, merenung, dan mungkin… merasa kecil.

Di era yang menuhankan eksistensi, Samudi memilih jalur sunyi. Ia bicara bukan untuk didengar, tapi untuk mengingatkan. Bahwa hidup—terutama dalam posisi pemimpin—bukan panggung untuk membesarkan diri, melainkan tempat untuk mengecilkan ego.

Dalam tradisi Jawa, seorang pemimpin yang baik adalah yang “eling lan waspada”—ingat pada asal-usul dan waspada pada godaan kuasa. Samudi tak sedang merendah, ia sedang meletakkan kembali manusia pada posisi yang semestinya, sebagai hamba, bukan pusat semesta.

Ucapan itu adalah tamparan halus bagi budaya hari ini, yang diwarnai oleh pemujaan terhadap jabatan, sorotan, dan pengakuan. Kita hidup di tengah hiruk-pikuk pencitraan, di mana “menjadi penting” terasa seperti tujuan akhir dari eksistensi. Tapi Samudi justru menyodorkan antitesis, menjadi tidak penting adalah bentuk tertinggi dari ketulusan.

Ada kekuatan yang tenang dalam ketidakterlihatannya. Seperti akar yang tak tampak tapi menopang pohon besar, Samudi memilih hadir tanpa perlu dikenang. Ia menjalankan pemerintahan desa bukan untuk diabadikan dalam plakat atau monumen, tapi untuk mengalir dalam keseharian warganya—di jalan kampung yang mulus, di sawah yang terairi, di senyum anak-anak sekolah.

Ia mungkin tak dikenal luas. Tapi di desa itu, kehadirannya terasa. Bukan karena ia penting. Tapi karena ia tahu, yang benar-benar penting adalah orang-orang yang tak merasa penting.

Mungkin sudah saatnya kita menengok kembali ke desa-desa yang jauh dari sorotan. Di sana, pemimpin seperti Samudi mengajarkan pelajaran yang tak tertulis di buku manajemen atau teori politik, bahwa kekuasaan yang tidak diikat oleh ego akan berubah menjadi pengabdian yang murni.

Samudi bukan sekadar kepala desa. Ia adalah simbol laku spiritual yang menolak silau kekuasaan. Kalimatnya akan terus bergaung bagi mereka yang siap menanggalkan rasa ingin diagungkan,
“Jangan pernah merasa dirimu penting bagi orang lain.”
Sebab kadang, yang paling berdampak adalah mereka yang tak meminta dikenang. (hamba Allah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *