Unggahan Achmad Ulinuha Buka Kran Kekecewaan Publik: Pungli Pendidikan Merata di Jawa Timur

Nganjuk, Media Pojok Nasional-
Sebuah unggahan Ketua LSM Forum Aspirasi dan Advokasi Masyarakat (FAAM) DPC Nganjuk, Achmad Ulinuha, memicu badai kritik publik. Ulinuha menegaskan bahwa klaim pendidikan gratis di Jawa Timur hanyalah isapan jempol, bahkan menantang pejabat Dinas Pendidikan untuk membuktikan di lapangan.

“Kalau ingin tahu, datang ke Nganjuk ketemu saya. Nanti saya tunjukkan bahwa (pendidikan gratis) itu gedabrus, hoax itu. Jangan hanya percaya laporan,” ujarnya.

Pernyataan ini langsung membuka kran kekecewaan publik. Netizen dari berbagai daerah di Jawa Timur meluapkan kesaksian tentang pungutan di sekolah negeri. Dari Nganjuk, Lamongan, Tuban, Mojokerto, Bojonegoro, Blitar, Ngawi, Pasuruan hingga Banyuwangi, suara mereka menunjukkan pola yang sama: pungutan masih berjalan dengan berbagai nama dan nominal.

Seorang warga berinisial R.W. mengungkap bahwa awal masuk sekolah memang tanpa biaya, namun setelah tiga bulan mulai bermunculan pungutan baru. Dari Blitar, A.F. melaporkan adanya sumbangan wajib bernilai ratusan ribu rupiah. Q.L. di Ngawi menyebut pungutan mencapai Rp500 ribu hingga Rp1 juta. E.S. di SMKN 1 Lengkong menyebut pungutan komite Rp300 ribu per siswa, sementara S.B. dari Bojonegoro menegaskan masih ada uang gedung Rp1 juta.

Kesaksian lain datang dari Lamongan, di mana menurut I., pungutan komite mencapai Rp150 ribu per bulan. S.D. dari Tuban menyebut anaknya dari SD hingga SMA terkena pungutan yang jika ditotal mencapai jutaan rupiah. N. menambahkan masih ada uang gedung Rp750 ribu. L.P.B. merinci pungutan yang dikenakan: uang gedung Rp1 juta, daftar ulang Rp500 ribu, komite Rp200 ribu, dan infak Rp50 ribu.

Di Banyuwangi, E.D. menyebut biaya seragam mencapai Rp2 juta. Dari Pasuruan, L.D. melaporkan di SMK Kepulungan pungutan seragam mencapai Rp2,5 juta dengan tambahan SPP Rp150 ribu per bulan. Di Mojokerto, S.L. menuturkan pungutan Rp200 ribu per bulan, sementara S.V. menyebut ada uang gedung Rp1 juta, SPP Rp150 ribu, dan biaya pengambilan rapot Rp50 ribu. A.S.2. menambahkan komite di Mojokerto menarik Rp250 ribu.

Deretan keterangan ini menunjukkan pola pungutan yang sistemik. Uang gedung berkisar Rp750 ribu hingga Rp1 juta. Seragam sekolah mencapai Rp2 juta hingga Rp2,5 juta. Iuran bulanan atau SPP berjalan di angka Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Iuran komite rata-rata Rp200 ribu sampai Rp300 ribu. Bahkan pungutan tambahan seperti daftar ulang Rp500 ribu dan infak Rp50 ribu tetap diberlakukan.

Fakta di lapangan ini berbenturan langsung dengan klaim resmi Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur yang sebelumnya menyatakan bahwa seluruh SMA/SMK negeri di provinsi ini sudah menerapkan pendidikan gratis dan terbebas dari pungutan. Klaim tersebut berulang kali ditegaskan melalui berbagai forum resmi, seolah-olah kebijakan berjalan mulus tanpa hambatan.

Namun, gelombang kesaksian publik yang muncul pasca-unggahan Achmad Ulinuha memperlihatkan realita yang jauh berbeda. Janji pendidikan gratis terbukti retak, sementara pungutan masih marak dengan beragam istilah dan besaran.

Kini, pertanyaan besar muncul: apakah Dinas Pendidikan Jawa Timur akan tetap berpegang pada klaim pendidikan gratis, atau berani mengakui kenyataan yang disampaikan langsung oleh masyarakat?

Unggahan Ulinuha telah menjelma menjadi pemantik. Suara rakyat mengalir deras, membongkar jurang antara retorika kebijakan dan realita lapangan. Pendidikan gratis di Jawa Timur, yang digadang-gadang bebas pungli, ternyata masih dibebani biaya dari gedung hingga seragam, dari komite hingga infak. (hamba Allah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *