Gresik, Media Pojok Nasional –
Di tengah dunia yang bising oleh pidato politik, statistik kekuasaan, dan retorika pencitraan, sebuah unggahan sederhana di fitur story WhatsApp justru menyuarakan sesuatu yang lebih dalam dan universal. Kepala Desa Bulurejo, Kecamatan Benjeng, Imam Shofwan, membagikan sebuah ilustrasi disertai kalimat singkat: “Orang yang kuat adalah dia yang menolong sesama, walau sebenarnya dia juga sedang memiliki masalahnya sendiri.”
Kalimat ini tampak sederhana. Namun justru dalam kesederhanaannya, ia menyimpan daya makna yang lintas kelas sosial, lintas budaya, dan lintas negara.
Secara bahasa, frasa orang yang kuat tidak merujuk pada otot, jabatan, atau kekuasaan. Ia menunjuk pada kekuatan yang lebih sunyi: keteguhan batin. Dalam kajian linguistik, kata kuat di sini mengalami pergeseran makna, dari fisik menuju moral. Ini adalah pilihan diksi yang membuat pesan mudah dipahami siapa pun, dari warga desa hingga pemimpin negara.
Kalimat kedua memperdalam makna melalui kata walau. Kata kecil ini adalah jantung pesan. Ia menghadirkan sebuah paradoks yang sangat manusiawi: menolong orang lain saat diri sendiri sedang bermasalah. Paradoks inilah yang selama berabad-abad menjadi inti ajaran etika, filsafat, dan sastra besar dunia, dari hikmah Timur hingga humanisme Barat. Di titik ini, unggahan tersebut berhenti menjadi nasihat biasa dan berubah menjadi refleksi universal tentang kemanusiaan.
Ilustrasi visual yang menyertai, seseorang menarik orang lain dari tepi jurang, memperjelas pesan tanpa perlu penjelasan panjang. Jurang melambangkan kesulitan hidup: kemiskinan, kebingungan, ketakutan, atau keterpurukan. Tangan yang terulur adalah simbol kepemimpinan paling purba dan paling jujur: hadir untuk mengangkat, bukan menghakimi; menopang, bukan meninggalkan.
Dalam perspektif kepemimpinan modern, pesan ini sejalan dengan gagasan servant leadership—bahwa pemimpin sejati bukan mereka yang berdiri paling tinggi, melainkan yang paling bersedia menunduk untuk membantu. Ini bukan bahasa kekuasaan, melainkan bahasa tanggung jawab. Bukan retorika kemenangan, melainkan pengakuan bahwa pemimpin pun manusia, memiliki masalah, namun tetap memilih peduli.
Menariknya, pesan ini tidak disampaikan melalui podium resmi atau dokumen negara, melainkan lewat story WhatsApp, media yang personal, singkat, dan sementara. Justru di situlah kekuatannya. Ia menjangkau pembaca tanpa jarak, tanpa protokol, tanpa hierarki. Pesan ini bisa dipahami oleh petani, akademisi, pejabat tinggi negara, hingga pemimpin dunia, karena ia berbicara dengan bahasa nilai, bukan bahasa kekuasaan.
Penting ditegaskan, penafsiran ini sepenuhnya berada di ranah wacana dan makna. Tidak ada klaim politik, tidak ada tuduhan, dan tidak ada implikasi hukum. Unggahan ini adalah teks terbuka yang sah dibaca secara akademik, sastra, dan etika publik, sebagaimana karya pemikiran mana pun dalam ruang demokrasi.
Pada akhirnya, unggahan singkat ini mengingatkan satu hal mendasar: di dunia yang sering mengukur kekuatan dari seberapa banyak yang bisa dikuasai, masih ada definisi lain tentang kuat, yaitu seberapa banyak yang sanggup kita tolong, bahkan ketika diri sendiri sedang berjuang.
Dalam filsafat Jawa, nilai ini sejalan dengan ajaran sepi ing pamrih, rame ing gawe, bekerja dan berbuat tanpa menuntut kepentingan pribadi. Menolong saat diri sendiri memiliki masalah adalah bentuk tertinggi dari laku batin: mengendalikan ego demi harmoni sosial. Pemimpin, dalam pandangan Jawa, bukan pusat pujian, melainkan pusat keseimbangan.
Nilai yang sama juga bergema dalam filsafat dunia. Konfusius menekankan ren, kemanusiaan yang diwujudkan melalui kepedulian terhadap sesama. Aristoteles menyebutnya sebagai virtue ethics, di mana keutamaan moral lahir dari tindakan nyata, bukan dari klaim atau gelar. Bahkan dalam tradisi modern, kepemimpinan etis diukur bukan dari kekuatan memerintah, melainkan dari kesediaan melayani.
Dengan demikian, unggahan ini berdiri di persimpangan kearifan lokal dan nilai universal. Ia menunjukkan bahwa kebijaksanaan desa tidak bertentangan dengan pemikiran besar dunia, justru sering kali lebih jujur dan membumi. Dari Bulurejo, sebuah pesan kecil berbicara dengan bahasa yang dipahami oleh peradaban mana pun.
Jika kepemimpinan adalah soal makna, maka dari sebuah story sederhana di desa kecil, kita belajar bahwa pesan paling kuat justru lahir dari kerendahan hati. Sebuah pelajaran sunyi, namun bergaung universal. (hambaAllah).
