Surabaya, Media Pojok Nasional –
Seorang anak bernama Alya Jazila Islami gagal masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gading V, Surabaya, hanya karena usia kurang satu bulan dari batas yang ditentukan. Padahal, Alya telah mengikuti proses pendaftaran melalui jalur domisili kecamatan dan memperoleh bobot nilai yang layak.
Bukti pendaftaran yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya menunjukkan bahwa Alya lahir pada 3 Juli 2018, sedangkan aturan penerimaan mensyaratkan calon peserta didik berusia genap 6 tahun per 1 Juli 2025. Selisih beberapa hari itu mengakibatkan sistem secara otomatis menolak pendaftaran Alya di sekolah pilihan.
Orang tua Alya telah mendaftarkan dua sekolah pilihan sesuai prosedur, yakni SDN Gading V dan SDN Sidokerto. Namun hasil akhir menunjukkan Alya tidak diterima di keduanya karena usia belum memenuhi ketentuan, meski domisili dan nilai bobotnya mendukung.
Kejadian ini menambah deretan panjang kisah anak-anak yang tereliminasi dari sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) hanya karena persoalan teknis usia, tanpa mempertimbangkan kesiapan psikologis anak dan faktor-faktor lain yang semestinya bisa ditelaah lebih fleksibel.
Ironisnya, kasus seperti ini bukan yang pertama terjadi di Surabaya. Setiap tahun, sistem seleksi PPDB menuai sorotan karena dianggap terlalu kaku, membelenggu anak-anak yang sebenarnya sudah siap secara mental dan fisik untuk masuk sekolah dasar.
Ketentuan administratif seharusnya tidak menjadi penghalang utama dalam menjamin hak anak untuk memperoleh pendidikan dasar. Ketiadaan ruang diskresi dan penilaian kasus per kasus dalam sistem PPDB Surabaya menunjukkan lemahnya keberpihakan terhadap kepentingan terbaik anak. (hamba Allah).