Surabaya,Media Pojok Nasional –
Pernyataan tajam dan penuh logika dilemparkan Wartawan Senior, Saiful Macan, menanggapi narasi liar yang kerap dilontarkan sejumlah pejabat desa terkait stigma wartawan sebagai “pemeras”. Dalam pernyataannya, Saiful tidak hanya membela profesi jurnalistik, tapi juga membongkar hipokrisi yang selama ini ditutup-tutupi.
“Gak ada wartawan meminta-minta uang atau meras,” tegas Saiful. “Biarkan wartawan bekerja sesuai poksinya. Setelah konfirmasi, tinggal jawab atau tidak, itu hak narasumber. Tapi jangan lalu menggoreng profesi wartawan seenaknya.”
Ia menambahkan, tudingan terhadap wartawan seringkali tidak berdiri di atas realitas utuh. Banyak kasus justru menunjukkan bahwa inisiatif memberi uang berasal dari pihak pejabat atau kepala desa sendiri. Di titik inilah, menurutnya, logika harus bicara.
“Jadi gini, bagaimana mungkin seorang kepala desa bisa ngasih uang Rp5 juta ke wartawan kalau tidak ada sebab? Uang segitu bukan receh. Kalau memang tidak ada sesuatu yang mau ditutupi, kenapa harus ‘membungkam’ dengan amplop?” tukasnya.
Saiful menyebut, yang kerap menjadi akar masalah adalah upaya menutup celah kritik dan membungkam proses konfirmasi. Di saat wartawan datang bertanya, bukannya memberi klarifikasi, justru dipertemukan dengan amplop.
“Kalau oknum wartawan menerima uang dari kades itu dikatakan pemerasan, lalu kades tersebut harus dikatakan apa? Jangan pura-pura bodoh. Logika atau insting orang di zaman ini sudah tinggi.”
Lebih jauh, Saiful menilai bahwa relasi transaksional antara wartawan dan pejabat tidak lahir begitu saja. Ia menegaskan bahwa pelemahan profesi jurnalistik dimulai dari sistem yang korup dan pejabat yang tidak siap diawasi.
Pernyataan ini menjadi teguran keras bagi para pemangku kebijakan yang alergi terhadap pengawasan publik. Profesi wartawan, kata Saiful, adalah pilar demokrasi, bukan alat tawar-menawar.
“Wartawan itu tanya, bukan minta. Kalau merasa terganggu, itu bukan soal etik, tapi soal niat di balik proyek yang ingin ditutupi.” pungkasnya.
Red.