Palu, Sulteng – Aroma busuk mafia BBM subsidi kembali menyengat di Sulawesi Tengah, menyeret nama besar institusi kepolisian dalam pusaran dugaan pembiaran dan keterlibatan. Terbongkarnya satu unit mobil tangki milik PT Ronal Jaya Energi yang mengangkut BBM subsidi ilegal di Kabupaten Banggai bukan sekadar kasus biasa; ini adalah simpul dari gunung es kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan diduga masif.

Pengakuan mengejutkan dari sang sopir, Andri (bukan nama sebenarnya), menohok telak supremasi hukum: “Kalau berbicara Polda sudah bos kami berkoordinasi. Polda Sulsel dan Polda Sulteng sudah aman.” Pernyataan ini, yang dihimpun tim investigasi Berantastipikornews.co.id pada Kamis, 5 Juni 2025, bukan sekadar klaim sepihak. Ini adalah tuduhan serius adanya pembiaran, bahkan dugaan keterlibatan oknum-oknum di balik seragam cokelat.
Bagaimana mungkin praktik ilegal berskala besar bisa berlangsung “aman” jika bukan karena ada “restu” atau setidaknya “pembiaran” dari pihak yang seharusnya menindak? Pengakuan ini secara telanjang mempertontonkan rapuhnya integritas penegak hukum di hadapan jerat mafia. Lebih mencengangkan lagi, menurut pengakuan sopir, BBM subsidi ilegal ini dihargakan Rp 11.800 per liter, jauh di atas harga resmi, mengindikasikan keuntungan haram yang fantastis dan kerugian negara yang besar.
Informasi yang dihimpun tim investigasi menunjukkan modus operandi yang licin: mobil tangki tidak mengambil BBM dari depot resmi, melainkan dari kapal yang berlabuh di Makassar, mengindikasikan jaringan distribusi ilegal yang memanfaatkan celah pengawasan di laut. Upaya konfirmasi kepada oknum penanggung jawab pengangkutan BBM direspons dengan dalih klise “ponsel rusak,” namun kembali terselip pengakuan yang mempertegas dugaan adanya pihak yang membentengi: “semua sudah aman karena sudah dikoordinasikan dengan pak Ronal, melalui Polda Sulsel dan Polda Sulteng.”
Ini bukan sekadar koordinasi, ini adalah dugaan kooptasi! Pertanyaan krusial muncul: siapa “Pak Ronal” ini, dan mengapa ia begitu yakin mampu mengamankan jalannya praktik ilegal ini dengan “koordinasi” di tingkat Polda? Mengapa para sopir dilarang berbicara lebih jauh kepada wartawan? Bukankah ini justru semakin menguatkan indikasi bahwa ada sesuatu yang ditutupi, sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar praktik ilegal biasa?
Skandal ini bukan hanya merugikan negara triliunan rupiah akibat kebocoran subsidi, melainkan juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Desakan kepada Kapolri dan BPH Migas untuk segera turun tangan menindak tegas mafia BBM subsidi ini harus diartikan sebagai “lampu merah” darurat. Jika praktik ilegal ini dibiarkan, maka yang akan terjadi adalah legalisasi kejahatan dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Penegakan hukum haruslah tajam ke atas, bukan tumpul ke bawah. Tidak boleh ada satu pun pihak yang kebal hukum, apalagi jika itu adalah korporasi besar seperti PT Ronal Jaya Energi dan PT Sri Globall Mandiri. Polri wajib mengusut tuntas, membongkar seluruh mata rantai jaringan mafia BBM subsidi ini, dan menyeret semua pihak yang terlibat, tanpa pandang bulu.
Pernyataan keras dari Herman menjadi sorotan: “Jika Kapolda Sulteng Tidak Berani Menindak Kejahatan Oleh Mafia BBM di Sulteng, Kapolda Sulteng, Silahkan Angkat Kaki dari Sulteng! Kami tidak butuh petinggi Polri di Polda Sulteng, yang tidak bisa menindak dengan tegas para mafia BBM di Sulteng.” Ini bukan hanya sebuah ancaman kosong, melainkan sebuah ultimatum.
Masyarakat Sulteng tidak butuh sandiwara penegakan hukum. Mereka butuh tindakan nyata, ketegasan, dan keberanian untuk memberantas kejahatan, meskipun itu berarti harus “mengorek” borok di tubuh institusi sendiri. Jika Polda Sulteng gagal dalam kasus ini, maka citra institusi Polri di mata masyarakat akan terpuruk semakin dalam, menjadi “potret buram” yang akan selalu terukir dalam ingatan.
Pertanyaannya kini, sanggupkah Polda Sulteng membuktikan diri sebagai pelindung rakyat, bukan pelindung mafia? Atau akankah mereka memilih untuk “angkat kaki” dari tanggung jawab dan membiarkan kejahatan terus merajalela? Publik menunggu jawaban, bukan janji!
Red .