Proyek di kotraktualkan pada pihak ke 3

Gresik, media pojok Nasional – Proyek pembangunan infrastruktur di Desa Ngampel, Kecamatan Balongpanggang, Kabupaten Gresik, yang bersumber dari Bantuan Keuangan (BK) Pemerintah Kabupaten Gresik, kini menjadi sorotan tajam publik. Dari total anggaran Rp650 juta — masing-masing Rp150 juta untuk Gedung Serbaguna, Rp150 juta untuk Gedung Barat, dan Rp350 juta untuk Kantor Desa (Gedung Tengah) — mencuat dugaan kuat adanya potongan dana hingga 30 persen sebelum pekerjaan dimulai.

Pengerjaan proyek tidak dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa, melainkan dikontraktualkan kepada pihak ketiga. Hasil penelusuran lapangan menemukan pelaksana proyek adalah Karsono, warga Desa Domas, Kecamatan Menganti, Gresik. Dalam wawancara eksklusif, Karsono mengaku anggaran yang diterima jauh di bawah nilai pagu karena adanya “potongan wajib”.

“Setiap anggaran ada potongan 30 persen. Untuk gedung, RAB-nya beda dengan infrastruktur lain karena banyak pekerjaan yang tidak tercantum. Saya yakin kepala desa malah banyak ruginya,” ujar Karsono.

Karsono menolak membeberkan nilai pasti potongan tersebut, namun menyebut proyek ini merupakan “jatah” dari Mujid Riduan, S.H anggota DPRD Gresik dari PDIP dapil Kedamean–Menganti.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemdes Ngampel belum memberikan klarifikasi resmi terkait tudingan ini. Padahal, sesuai aturan, Dana BK wajib digunakan 100 persen sesuai peruntukan dan tidak boleh dipotong di luar mekanisme yang diatur peraturan perundang-undangan.

Kasus dugaan potongan ini bukan hanya persoalan etik, tetapi juga berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi serta pelanggaran UU Partai Politik, jika terbukti ada aliran dana ke pihak parpol. Lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Negeri Gresik dan KPK didesak segera turun memeriksa aliran dana, memanggil pihak-pihak terkait, serta mengaudit transparansi pelaksanaan proyek.

Praktik “potongan proyek” yang selama ini dianggap lumrah justru merugikan masyarakat: kualitas bangunan menurun, durabilitas infrastruktur rendah, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa maupun partai politik terkikis.

Saat dikonfirmasi terpisah, Mujid Riduan, S.H membantah keras tudingan tersebut.

“Pembangunan gedung memerlukan teknisi khusus, tidak asal pekerja atau tukang. Karsono memang orang Domas, tapi saya tidak kenal. Yang punya wewenang pelaksanaan pekerjaan pemerintahan desa itu kepala desa, bukan saya. Potongan 30 persen itu tidak benar. Sampeyan temui pak kadesnya saja, nanti biar dijelaskan,” ujar Mujid kepada awak media melalui sambungan telepon.

Dengan dugaan potongan dana yang mencapai ratusan juta rupiah ini, publik menanti langkah cepat aparat penegak hukum untuk mengungkap apakah praktik ini hanya sebatas isu atau memang bagian dari pola korupsi politik di tingkat desa. (. Hen. )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *