Potret Buram Dugaan Permainan Para Oknum Pejabat Bangkalan Pada Kasus BUMDes Tengket Arosbaya

Bangkalan, Media Pojok Nasional – Polemik pengelolaan dana BUMDes Tengket Jaya di Desa Tengket, Kecamatan Arosbaya, terus menjadi sorotan publik. Alih-alih selesai, pernyataan aparat penegak hukum yang menyebut tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum memunculkan tanda tanya baru. Publik mulai menilai ada situasi yang tidak transparan dan terkesan saling melindungi di antara pihak yang semestinya bertanggung jawab.

Audit Inspektorat sebelumnya menyebut kerugian hanya sekitar Rp 4 juta lebih dan telah dikembalikan ke kas desa. Kesimpulan inilah yang dianggap banyak pihak terlalu menyederhanakan persoalan. Bukan hanya soal angka yang kecil, tetapi lebih pada dugaan penyalahgunaan sistem dan tata kelola yang seharusnya menjadi kewenangan pejabat desa.

“Dana yang dikucurkan mencapai ratusan juta. Kenapa yang muncul hanya kerugian empat juta. Ini bukan persoalan hitung-menang hitung-rugi, tetapi integritas dan tanggung jawab hukum,” ucap RS, aktivis pemerhati kebijakan publik.

BUMDes Tengket Jaya yang kini tidak beroperasi memberi bukti nyata bahwa tujuan pemberdayaan ekonomi desa tidak berjalan. Tidak ada laporan pertanggungjawaban yang terbuka, tidak ada informasi terkait kegiatan usaha, dan masyarakat tidak merasakan manfaat dari keberadaan BUMDes tersebut.

Sumber internal desa menyebut adanya ketidakjelasan posisi aset dan modal usaha BUMDes sejak awal pembentukan. “Semua cair, tapi tidak ada pertanggungjawaban yang transparan. Masyarakat tidak tahu ke mana anggaran bergerak. Yang terlihat hanya papan nama.”

Dalam konteks tata kelola pemerintahan desa, pejabat desa memiliki peran sentral dalam mengatur, mengelola, dan menjaga akuntabilitas anggaran.

Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait pengelolaan BUMDes. Apabila pejabat desa menyalahgunakan kewenangan atau lalai dalam pertanggungjawaban anggaran, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

Secara hukum, penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana desa dapat dikenakan sanksi pidana sesuai pasal 3 dan 8 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Pengembalian uang tidak otomatis menghapus unsur pidana apabila sebelumnya terjadi penyimpangan prosedur atau pengambilan keputusan yang merugikan keuangan negara.

“Pejabat desa bukan hanya pemegang jabatan administratif. Mereka adalah penanggung jawab hukum atas setiap rupiah dana desa. Tanggung jawab itu melekat dan tidak dapat dihindari,” tegas SR, akademisi asal Arosbaya.

Publik juga menyoroti sikap Inspektorat dan kepolisian yang dinilai kurang tegas dalam menggali fakta. Kecurigaan muncul lantaran rekomendasi pengawasan hanya berhenti pada ranah administratif, sementara dugaan penyalahgunaan kewenangan tidak digali lebih dalam.

Situasi ini menimbulkan kesan adanya kongkalikong halus antara oknum pengelola desa dengan pihak pengawas dan penegak hukum.

“Jika aparat hanya berhenti di batas ‘uang dikembalikan’ tanpa mengusut proses bagaimana penyimpangan itu bisa terjadi, itu berarti ada fungsi pengawasan yang tidak berjalan,” ujar Rasyid, tokoh pemuda.

Kasus BUMDes Tengket Jaya menjadi cermin buram bagaimana uang negara dapat kehilangan orientasi ketika pejabat desa tidak menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara benar, sementara aparat pengawas dan penegak hukum tidak menunjukkan ketegasan.

Publik kini menunggu keberanian institusi negara untuk membuktikan bahwa hukum tetap berdiri tanpa kompromi.

Kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas tidak boleh berhenti menjadi slogan. uang atau anggaran negara adalah hak masyarakat, bukan ruang gelap untuk kepentingan segelintir orang.
(Hanif)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *