Miskomunikasi Soal Obat BPJS, RSUD Bakti Dharma Husada Luruskan Informasi

Surabaya, Media Pojok Nasional –
Kasus Bu S, seorang pasien mata, menyoroti pentingnya komunikasi yang lebih baik antara dokter, pasien, dan kebijakan BPJS Kesehatan. Perbedaan antara terapi yang diberikan dengan daftar obat yang ditanggung BPJS bukanlah bentuk pelanggaran, melainkan akibat keterbatasan daftar obat dalam Formularium Nasional.

Dalam sesi sharing dengan awak media yang berlangsung di ruang meeting RSUD Bakti Dharma Husada, Rabu (5/3/2025), Komite Medik, Dr. Hari, menjelaskan bahwa Dr. Arif sebagai dokter yang menangani pasien telah memberikan terapi berdasarkan pertimbangan medis terbaik untuk Pasien Bu S. Dalam hal ini, Dr. Arif memberikan resep obat mata yang dianggap paling efektif, meskipun obat tersebut tidak termasuk dalam daftar yang ditanggung BPJS.

“Sebagai dokter, kami memiliki tanggung jawab untuk memberikan terapi yang paling sesuai dengan kondisi pasien. Dr. Arif telah meresepkan obat berdasarkan kebutuhan medis pasien, bukan untuk tujuan lain. Namun, kami juga memahami bahwa BPJS memiliki ketentuan sendiri mengenai daftar obat yang bisa ditanggung,” ujar Dr. Hari dalam pertemuan tersebut.

Ia juga menegaskan bahwa kebijakan BPJS mengacu pada Formularium Nasional, yang membatasi daftar obat yang dapat ditanggung. Oleh karena itu, komunikasi yang lebih jelas dengan pasien menjadi sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Kepala Bidang Pelayanan Medis RSUD Bakti Dharma Husada, Agusmawati, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, menegaskan bahwa dalam kasus ini tidak ada kesalahan prosedur, tetapi lebih kepada miskomunikasi mengenai daftar obat yang ditanggung BPJS.

“Kami memahami bahwa dokter memiliki pertimbangan medis dalam meresepkan obat, sementara BPJS memiliki kebijakan tersendiri terkait obat yang bisa ditanggung. Ke depan, kami akan memperjelas komunikasi sejak awal agar pasien memahami opsi pengobatan yang tersedia,” ujar Agusmawati.

Sebagai langkah perbaikan, rumah sakit menekankan beberapa hal diantaranya,

Memperjelas komunikasi dengan pasien, agar mereka memahami sejak awal obat mana yang ditanggung BPJS dan bagaimana prosedur alternatifnya.

Evaluasi Formularium Nasional, agar daftar obat yang ditanggung BPJS lebih fleksibel dan sesuai dengan perkembangan medis.

Koordinasi dengan Kementerian Kesehatan, agar rumah sakit dapat mengusulkan revisi daftar obat yang lebih relevan dengan praktik medis terkini.

Kasus ini bukan semata soal kebijakan, tetapi juga tentang bagaimana sistem kesehatan dapat lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasien. Dengan komunikasi yang lebih baik dan evaluasi kebijakan yang berkelanjutan, layanan kesehatan di Indonesia bisa semakin responsif dan berpihak pada pasien.

Momentum ini akan menjadi pembelajaran agar regulasi BPJS tidak hanya mengikuti standar administratif, tetapi juga selaras dengan perkembangan dunia medis dan kebutuhan masyarakat luas. (hamba Allah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *