Logika Saiful Macan: Melas Kepada Allah, Memberi Kepada Keturunan Hingga Akhir Usia

Surabaya,Media Pojok Nasional –
Pandangan hidup Saiful Macan, jurnalis kritis sekaligus Pendekar Galing yang dikenal sebagai Sang Putra Melas, kembali menggetarkan ruang batin publik. Dengan logika hidup yang jernih dan berpijak pada nilai spiritual, ia menegaskan bahwa sejatié menungso bukan diukur dari harta atau kehormatan, tetapi dari kesanggupannya memberi kepada keturunannya sampai akhir hayat.

“Sejatiné menungso iku yo ngono, sampek dadi kakek buyut tetep kudu iso ngasih. Ngasih anak, ngasih cucu, ngasih ati sing tulus. Sebab sing iso kita rencanakake mung marang keturunan kita. Yen karo wong liya, iku mung kebetulan, ora ono rencana,” tutur Saiful dengan suara tenang namun penuh daya renung.

Bagi Saiful Macan, logika memberi yang sejati tidak lahir dari niat mencari pujian, melainkan dari kesadaran bahwa garis keturunan adalah ladang utama tempat kasih harus tumbuh. Memberi kepada anak dan cucu bukan kewajiban sosial, melainkan bentuk keberlanjutan cinta yang dirancang oleh kehidupan itu sendiri.

“Kita iso ngasih wong liya, tapi iku mung selingan, ora diskenario. Tapi ngasih anak-cucu iku tugas, iku tanggung jawab, iku wujud sejatiné urip,” ujarnya.

Sebagai Sang Putra Melas, ia menempatkan “melas”, atau rasa welas asih, sebagai pusat dari seluruh perjalanan hidup manusia. Namun dalam logika hidupnya, melas sing paling utama bukan kepada manusia, melainkan kepada Sang Pencipta.

“Melas sing paling agung iku marang Gusti Allah, Tuhan ku. Marang Sing Gawe Urip. Yen atimu wis iso melas marang Gusti, yo otomatis iso melas marang sesamamu,” tegasnya dengan mata yang berbinar tenang.

Ia meyakini, setiap tindakan memberi yang dilakukan dengan niat tulus adalah bentuk kecil dari rasa melas kepada Tuhan. Karena melalui memberi, manusia belajar menyalurkan sifat kasih yang berasal dari-Nya.

“Ngasih iku ora mung soal materi. Kadang senyum, doa, pangapura, iku uga pemberian. Gusti Allah ora butuh bandha, sing dibutuhké ati sing melas marang sesama,” katanya lagi.

Sebagai jurnalis, Saiful Macan menulis dengan logika yang tajam. Sebagai pendekar, ia bertindak dengan hati yang tenang. Dua kekuatan itu menjelma menjadi ajaran hidup yang sederhana tapi dalam: manusia sejati adalah yang terus memberi, dari awal hingga akhir napasnya, bukan karena ingin dikenang, tapi karena sadar bahwa kasih adalah warisan tertinggi.

“Sejatié menungso miturut logikaku, yaiku sing tetep iso ngasih sampek akhir hayat. Sing ngerti yen ngasih marang anak-cucu iku rencana saka Gusti, lan ngasih marang wong liya iku mung perantara. Nanging melas sing paling luhur, iku mung kanggo Gusti Allah.”, Saiful Macan, Sang Putra Melas. (hambaAllah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *