Gresik, Media Pojok Nasional –
Publik Gresik digegerkan oleh munculnya laporan baru dari DRA terhadap SB ke Polres Gresik, meskipun insiden yang dimaksud telah selesai, didamaikan, dan telah dijatuhi sanksi kedinasan sejak lebih dari satu tahun setengah lalu.
Kejanggalan waktu pelaporan, visum yang sangat terlambat, hingga foto luka yang baru muncul setelah setahun lebih, kini menuai reaksi kuat masyarakat.
Insiden ini berdampak luas karena dianggap mengganggu prinsip keadilan, kepastian hukum, dan menghina mekanisme kedinasan yang sudah final.
Peristiwa berawal saat SB meminta bantuan administrasi kepada DRA dalam rangka penyelesaian berkas kasus pencurian grill tangkapan air yang merugikan negara sekitar Rp650 juta. DRA justru memicu ketegangan dengan emosi, hingga SB secara refleks melempar botol air mineral 600 ml.
Namun pada hari yang sama, SB langsung mendatangi DRA di rumah sakit untuk meminta maaf. Keduanya sepakat berdamai, dan dinas bergerak cepat memastikan penegakan disiplin:
SB dijatuhi sanksi keras selama 6 bulan, Mediasi resmi dilakukan, Atasan SB yang menjabat Kabid turun langsung ke rumah DRA dan Santunan Rp10 juta diberikan dan diterima DRA sebagai bagian penyelesaian, karena di lingkup ASN, keputusan atasan bersifat final dan menghentikan sengketa internal.
Dikonfirmasi, SB menegaskan bahwa dirinya telah patuh pada semua proses kedinasan. “Saya sudah meminta maaf, menjalani sanksi enam bulan, dan atasan saya yang Kabid juga sudah turun langsung. Kalau setelah 1tahun baru dilaporkan, saya hanya heran… apakah keputusan atasan tidak dihargai?” ungkapnya.
Pernyataan SB memicu diskusi publik tentang etika, kedisiplinan, dan rasa hormat pada mekanisme institusi.
Dalam hukum pidana, visum harus menggambarkan kondisi medis pada waktu kejadian atau waktu terdekat. Jika dibuat terlambat, dokter tidak bisa memastikan hubungan luka dengan insiden lama.
Visum DRA yang muncul setelah lebih dari 1 tahun kini dipertanyakan publik karena tidak menggambarkan keadaan fisik saat kejadian, tidak dapat memastikan penyebab luka, tidak memiliki koherensi waktu (time relevance) dan tidak sesuai prinsip pembuktian medis.
Secara medis dan hukum, visum terlambat dianggap tidak memiliki akurasi ilmiah yang kuat.
Ini yang paling mengejutkan publik, Foto Luka Satu Tahun Lebih Tidak Memenuhi Syarat Pembuktian.
- Pasal 184 Ayat (1) KUHAP
Foto bukan alat bukti utama dalam hukum pidana.
Alat bukti utama hanya: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Foto hanya bisa menjadi petunjuk bila diambil pada waktu kejadian dan didukung bukti lain yang sah.
- Perkap No. 6 Tahun 2019
Barang bukti foto harus memenuhi prinsip keterkaitan waktu, keaslian kondisi, rantai penguasaan (chain of custody).
Foto yang diambil setelah 1 tahun tidak dapat membuktikan kapan, bagaimana, atau akibat apa luka tersebut muncul.
- Yurisprudensi MA, Mahkamah Agung berulang kali menegaskan: Barang bukti visual tanpa kesinambungan waktu tidak dapat dijadikan dasar kebenaran fakta peristiwa.
Dengan dasar ini, publik menilai foto terlambat dari DRA tidak relevan dengan kejadian yang telah lama diselesaikan.
Kejadian ini memicu diskusi luas di masyarakat Gresik. Banyak mempertanyakan: Mengapa menunggu 1 tahun lebih baru melapor? Mengapa menerima santunan damai, lalu baru dikembalikan sebelum melapor? Mengapa visum dan foto baru muncul lama setelah insiden? Apakah keputusan Kabid dan putusan kedinasan tidak dihargai? Ada kepentingan apa di balik laporan yang mendadak?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi perbincangan hangat karena dianggap janggal dan mengganggu stabilitas internal ASN. (hambaAllah).
