Bojonegoro, Media Pojok Nasional –
Kepala Desa Kepohkidul, Kecamatan Kedungadem, Samudi, mengguncang ruang digital lokal lewat unggahan WhatsApp Story yang tampak filosofis namun sarat makna. Kalimat itu berbunyi,
“Istilah kuda mati merujuk pada situasi di mana seseorang terus berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah jelas tidak efektif atau tidak mungkin berhasil, seperti terus memukul kuda yang sudah mati. Ini adalah metafora yang menggambarkan kegigihan yang sia-sia dalam menghadapi kegagalan dan pentingnya mengakui titik di mana harus berhenti mengalokasikan sumber daya ke sesuatu yang tidak lagi memberikan hasil.”

Bukan sekadar kalimat bijak biasa, metafora ini langsung memicu spekulasi: kepada siapa sesungguhnya sindiran ini diarahkan?
Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro saat ini tak luput dari sorotan tajam. Beberapa kebijakan dianggap stagnan, proyek infrastruktur disinyalir tak menyentuh kebutuhan warga secara langsung, dan program-program desa yang disalurkan top-down dinilai kehilangan relevansi.
Dalam konteks ini, ucapan Samudi bisa dibaca sebagai kritik elegan terhadap upaya mempertahankan kebijakan-kebijakan yang sejatinya sudah “mati”, namun tetap disuntik anggaran dan dipoles narasi. Bila benar arah tembaknya ke sana, maka ini adalah sindiran yang cerdas—menohok, tanpa menyebut nama.
Namun bisa juga, Samudi tengah berbicara pada dirinya sendiri. Bisa jadi ia sedang merefleksikan masa lalu, menyadari bahwa ada hal-hal yang dulu diyakini, tapi kini harus ditinggalkan. Metafora itu menjadi ruang kontemplatif seorang pemimpin desa yang tak ingin terjebak pada ego kebijakan masa lalu.
Apapun maksud sesungguhnya, satu hal jadi jelas, Samudi memilih bahasa tinggi dan simbolik untuk menyampaikan pesan. Sebuah taktik yang aman namun berdampak. Ia bisa selalu berkelit bahwa itu hanya kutipan umum, namun siapa pun yang merasa tersentil akan tahu bahwa “pukulan” itu mengarah pada mereka.
Di panggung politik lokal, strategi seperti ini makin umum digunakan. Ketika bicara langsung bisa memicu konflik terbuka, maka metafora menjadi alat perlawanan yang efisien—diam, namun mematikan.
Kini pertanyaannya bergeser, siapa yang masih ngotot menunggang “kuda mati”? Apakah birokrat yang mempertahankan proyek gagal? Apakah elit lokal yang tak mampu berinovasi? Atau para pemimpin yang enggan mengakui bahwa kebijakan mereka tak lagi relevan?
Samudi telah menabur kalimat. Dan seperti setiap kalimat bijak yang dilemparkan ke publik—resonansinya tergantung pada siapa yang merasa disapa. (hamba Allah).