Kejuaraan Dunia Pickleball Malaysia Digetarkan Pelajar SMAN 2 Jombang

Jombang,Media Pojok Nasional – Siswa SMAN 2 Jombang menyeruak ke panggung internasional di Malaysia. Mereka tidak datang dari pusat pembibitan atlet, bukan produk klub elit, tidak dikirim federasi mana pun. Namun di ajang World Pickleball Championship (WPC) Series – MATTA Malaysia Grand Slam 2025, nama mereka berdiri setinggi kompetitor dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan negara-negara lain.

Kejuaraan berlangsung 13 hingga 19 Oktober 2025 di Kuching, Sarawak. Dari lapangan keras dan persaingan berlapis negara itu, Akil dan Royyan membawa pulang tiga torehan prestisius untuk Indonesia. Kepala SMAN 2 Jombang, Budiono, menyaksikan sendiri bagaimana prestasi ini bukan lahir dari fasilitas, melainkan kemauan yang menerobos batas.

Di nomor Ganda Putra U18+ Open, Akil dan Royyan menusuk sampai podium dan mengamankan posisi juara tiga. Lawan yang mereka hadapi sudah kenyang pengalaman turnamen internasional. Royyan kembali turun di nomor tunggal kategori U19+ Advance dan merampas posisi juara dua, hanya selisih satu partai dari emas. Akil bertahan di kategori U19+ Intermediate Single Putra dan finis di empat besar setelah duel yang menguras tenaga dan mental.

Ajang ini bukan lomba komunitas atau festival pelajar. Ini bagian dari seri resmi World Pickleball Championship, agenda global yang membawa nama negara, federasi, dan peringkat dunia. Di antara dominasi atlet dengan ekosistem pelatihan matang, siswa dari SMA negeri di Jombang menerobos panggung tanpa protokol kehormatan, tanpa tim pendukung, tanpa perangkat profesional.

Budiono tahu sekolahnya tidak punya laboratorium atletik, tapi ia juga sadar bahwa bakat yang tidak ditekan birokrasi bisa meledak kapan saja. Prestasi ini merobohkan anggapan bahwa olahraga internasional hanya monopoli sekolah olahraga, klub mahal, atau kota dengan sarana mutakhir.

SMAN 2 Jombang, sekolah yang sehari-harinya berkutat dengan kurikulum dan ujian, tiba-tiba muncul dalam peta Asia berkat keberanian siswanya. Tanpa sorotan televisi, tanpa seremoni media, mereka menembus kompetisi yang bahkan belum dikenal luas oleh dunia pendidikan Indonesia.

Ini bukan hanya tentang medali. Ini alarm keras bahwa Pickleball sudah lebih dulu bergerak lewat generasi muda sebelum pemerintah, federasi, dan sponsor sempat menyadarinya. Akil dan Royyan membuka pintu yang tidak bisa ditutup lagi.

Yang mereka bawa pulang bukan sekadar prestasi, tapi tamparan yang mengingatkan bahwa talenta ada, kemampuan hidup, dan mental bertarung menyala, yang sering tidak ada justru dukungan dan keberpihakan.

Bila media nasional, dinas pendidikan, KONI, atau kementerian diam terhadap capaian ini, sejarah akan mencatat bahwa perubahan kadang dimulai bukan oleh pejabat atau program, tapi oleh pelajar yang berani terbang dan menolak pulang dengan tangan kosong.

Red. (hamba Allah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *