Jangan Anggap Remeh! Curhat Wali Murid MAN 4 Jombang Soal Biaya yang Tak Terduga

Jombang, Media Pojok Nasional –
Pemberitaan tentang dugaan pungutan liar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Jombang membuka keran pengakuan yang selama ini mengendap di balik diam para orang tua.

Sekilas, sekolah itu tampak menjadi solusi pendidikan murah bagi kalangan menengah ke bawah. Tapi diam-diam, banyak yang harus menelan kenyataan pahit: tagihan mendadak, iuran tak jelas, dan komunikasi yang timpang antara lembaga dan wali murid.

Satu per satu suara bermunculan. Bukan sekadar mengeluh, tapi mencoba memberi terang atas praktik-praktik yang selama ini dianggap lumrah hanya karena “semua orang membayar”.

“Bukan soal nominalnya. Tapi soal kejelasan. Bisa tiba-tiba disuruh bayar Rp900 ribu tanpa rincian. Kadang Rp750 ribu, kadang Rp500 ribu. Alasan tidak pernah dijelaskan. Kalau nanya, kadang dianggap mengganggu sistem,” ujar seorang wali murid, DJ, yang anaknya kini duduk di kelas dua.

DJ mengaku sudah pasrah sejak awal masuk. Uang pendaftaran memang terjangkau, hanya sekitar satu jutaan. Tapi kemudian ia menyadari: biaya pendidikan tidak berhenti di angka brosur.

“Masuknya memang murah, tapi setelah itu seperti angsuran tak tentu. Di brosur tertulis satu hal, di lapangan realitanya lain,” katanya.

Kisah serupa datang dari DAJ, wali murid yang berasal dari keluarga petani. Ayahnya sering kali harus menegosiasikan waktu pembayaran karena menunggu masa panen. Pihak komite, katanya, cukup terbuka. Namun sistem penarikan dana tetap menyisakan tanya.

“Kalau memang dari awal diberi tahu detail pembayarannya, kami siap. Tapi yang bikin berat itu, munculnya tiba-tiba. Dan kami merasa tidak punya ruang untuk bertanya,” ucapnya.

Beberapa wali murid mengaku pernah dimarahi atau ditegur hanya karena mempertanyakan iuran. Namun sebagian guru, di sisi lain, justru membantu menjembatani aspirasi ke komite. Situasi ini membuat relasi antara sekolah dan wali murid jadi canggung: antara percaya dan terpaksa percaya.

“Guru-gurunya baik, mau menjelaskan ke komite kalau ada murid yang belum mampu. Tapi sistemnya seperti tertutup. Uang terus ditarik, tapi transparansi tidak mengikuti,” tambah DAJ.

MAN 4 Jombang memang berstatus negeri, tapi pengelolaan keuangannya tak sepenuhnya dibuka seperti lembaga pemerintah murni. Keterlibatan yayasan atau komite sering kali jadi pintu masuk praktik-praktik yang abu-abu secara hukum, antara gotong royong dan kewajiban yang dipaksakan.

Salah satu istilah yang muncul dalam diskusi publik adalah “diperbudak yayasan”, meski kemudian diperhalus menjadi “berada di bawah naungan yayasan”. Namun intinya tetap satu: wali murid merasa tidak punya posisi tawar.

“Dibilangnya sih ‘di bawah naungan’. Tapi semua keputusan mutlak dari atas. Kita ini hanya bisa bilang iya,” keluh seorang wali murid lain lewat pesan singkat.

Tulisan sebelumnya yang memuat dugaan pungli di MAN 4 Jombang rupanya membuka ruang curhat publik. Komentar dan pesan langsung berdatangan, sebagian menyampaikan kekecewaan, sebagian lain menguatkan bahwa sistem pendidikan semacam ini memang lazim, tapi tak berarti harus dibenarkan.

Kini, suara-suara itu sudah keluar dari diam. Sudah waktunya MAN 4 Jombang dan sekolah lain yang bernasib sama berhenti menyebut suara kritis sebagai ancaman. Karena di balik semua curhatan, tersimpan satu harapan: agar sekolah negeri kembali jadi tempat yang jujur, bukan tempat sembunyi-sembunyi.

Kami membuka ruang bagi wali murid MAN 1 Jombang dan sekolah lain yang mengalami hal serupa untuk berbagi cerita, keluhan, atau pengalaman Anda. Kirimkan curhatan Anda melalui email Media ini.

Identitas Anda akan kami jaga kerahasiaannya dengan ketat. Suara Anda bukan hanya curahan hati, tapi juga panggilan perubahan bagi sistem pendidikan yang lebih adil dan transparan. (hamba Allah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *