CSR Pabrik Plastik dan UD Arta Persada Plasindo: Solidaritas Dikhianati, Transparansi Dipertanyakan

Jombang, Media Pojok Nasional –
Keadilan sosial di Desa Plosokerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang tengah diuji. Polemik terkait distribusi dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Pabrik Plastik dan UD Arta Persada Plasindo menciptakan ketimpangan yang kian nyata. Sejumlah warga, terutama dari dusun Ploso Santren dan Arjosari, menilai mekanisme pembagian CSR tidak hanya diskriminatif, tetapi juga sarat kepentingan. Mereka menuding bahwa bantuan tersebut hanya mengalir kepada segelintir kelompok tertentu, sementara masyarakat desa lainnya dikesampingkan.

Pada awalnya, warga Desa Plosokerep bersatu dalam aksi menuntut pertanggungjawaban pabrik terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dengan solidaritas yang kuat, mereka menyuarakan aspirasi atas polusi yang mengancam kesejahteraan desa. Namun, setelah CSR mulai digelontorkan, dinamika sosial berubah drastis.

“Dulu, kita diajak berdiri di garis depan untuk menuntut hak sebagai warga yang terdampak polusi. Kita ikut bukan karena kepentingan pribadi, tetapi demi kebaikan bersama. Tapi sekarang, setelah CSR turun, mereka yang dulu paling vokal justru diam dan mengabaikan kami yang tidak kebagian,” ungkap seorang warga dengan nada kecewa.

Alih-alih mempererat solidaritas, CSR justru menciptakan fragmentasi sosial yang tajam. Warga yang tidak menerima bantuan kini diperlakukan sebagai entitas terpisah, seolah mereka tidak memiliki hak yang sama atas dana sosial tersebut.

Selain ketidakadilan dalam distribusi, mekanisme pengelolaan CSR juga menjadi sorotan. Warga menuntut transparansi penuh atas dana yang seharusnya menjadi hak bersama. Indikasi adanya praktik tidak sehat dalam penerimaan dan distribusi bantuan semakin memperkuat dugaan bahwa CSR bukan lagi tentang tanggung jawab sosial perusahaan, melainkan instrumen politik ekonomi yang menguntungkan segelintir pihak.

“CSR adalah kewajiban sosial, bukan alat untuk membungkam kritik atau membagi keuntungan kepada kelompok tertentu. Jika mekanisme ini tidak transparan dan justru menciptakan kegaduhan, lebih baik CSR tersebut dihentikan sama sekali,” ujar seorang warga lainnya.

Lebih lanjut, warga menegaskan bahwa CSR tidak boleh disalahgunakan untuk pembangunan infrastruktur desa, mengingat sudah ada Alokasi Dana Desa (ADD) yang secara khusus dialokasikan untuk keperluan tersebut. Oleh karena itu, mereka mendesak agar dana CSR benar-benar digunakan sesuai dengan tujuan awalnya: meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.

Tiga Tuntutan Tegas Warga Plosokerep, Jika Pabrik Bermasalah, Harus Ditindak, Bukan “Dibayar” dengan CSR
Jika pabrik masih beroperasi tanpa izin yang sah atau terbukti mencemari lingkungan, maka harus ada tindakan tegas dari pihak berwenang. CSR tidak boleh menjadi alat kompromi untuk menutupi pelanggaran.

CSR Harus Dikelola Pemerintah Desa, Bukan Kelompok Tertentu
Jika pabrik telah memenuhi standar operasional dan tetap ingin memberikan CSR, maka pengelolaannya harus dilakukan secara transparan oleh pemerintah desa, dengan sistem pembagian yang adil dan merata ke seluruh dusun.

Audit dan Pertanggungjawaban Publik
Ketua RT 01, 02, 03, 04 serta RW 03 diminta memberikan keterangan terbuka mengenai aliran dana CSR selama ini. Warga menuntut audit menyeluruh agar tidak ada penyalahgunaan dana yang merugikan masyarakat.

Kasus ini bukan hanya tentang CSR, tetapi juga tentang integritas, keadilan sosial, dan transparansi dalam tata kelola desa. Jika dana yang seharusnya menjadi hak bersama malah menciptakan perpecahan dan ketidakadilan, maka ke mana arah moralitas dan solidaritas warga Plosokerep?

Warga kini menunggu tindakan konkret dari pemerintah desa dan pihak pabrik. Ini bukan sekadar soal uang, tetapi soal keadilan yang seharusnya menjadi hak setiap warga desa. (hamba Allah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *