Tangerang, Media Pojok Nasional – Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang resmi membebankan retribusi sampah kepada seluruh pelaku usaha, dari hotel mewah hingga warung kecil, melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Aturan ini dikemas sebagai langkah untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang lebih “profesional”, namun di balik dalih itu, muncul dugaan kuat bahwa kebijakan ini tak lebih dari upaya instan untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjadi payung hukum kebijakan ini. Kepala DLH Kota Tangerang. ‘Wawan Fauzi’ mengklaim bahwa retribusi ini akan dikembalikan dalam bentuk layanan optimal, termasuk armada baru dan petugas yang lebih terlatih. Namun, pernyataan ini menimbulkan keraguan besar di kalangan pelaku usaha dan publik.

Selama ini, DLH Kota Tangerang sering kali dikritik karena kinerja pengelolaan sampah yang amburadul. Keluhan tentang keterlambatan pengangkutan, armada yang minim, hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang over kapasitas sudah menjadi rahasia umum.
Pertanyaannya, apakah dengan uang retribusi baru ini, DLH benar-benar mampu mereformasi birokrasi dan operasionalnya yang sudah lama bermasalah, ataukah ini hanya janji manis di atas kertas?
Sistem pembayaran retribusi secara nontunai melalui aplikasi SIRITASE pun tak luput dari sorotan. Meskipun diklaim sebagai upaya pencegahan pungutan liar, sistem ini justru berpotensi menambah kerumitan birokrasi baru bagi pelaku usaha. Sejumlah pelaku usaha yang diwawancarai secara anonim mengaku khawatir sistem ini hanya akan memindahkan praktik “pungli” menjadi “pungli digital” yang terselubung.
“Ini seperti memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain. Selama ini kami bayar retribusi, tapi sampah tetap telat diangkut. Sekarang kami disuruh bayar lebih mahal dengan alasan layanan profesional. Kami butuh bukti, bukan cuma janji,” ungkap seorang pemilik restoran di kawasan Cikokol yang enggan disebut namanya.
Sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang menghadapi sorotan tajam menyusul usulan penambahan anggaran yang signifikan untuk kegiatan pendukung persiapan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) pada Rancangan Kerja DLH Tahun Anggaran 2024.
Kenaikan anggaran ini memicu kecurigaan mengenai prioritas dan alokasinya. Lonjakan Anggaran yang Mencurigakan. Sorotan utama tertuju pada proyeksi anggaran DLH secara keseluruhan yang melonjak drastis. Awalnya, Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2024 mengestimasi total anggaran sebesar Rp 225.077.412.611,04. Namun, angka ini membengkak menjadi Rp 261.127.412.610 setelah “Analisis Kebutuhan yang lebih mendalam.”
Kenaikan sekitar Rp.36 miliar ini diklaim mencerminkan “penyesuaian prioritas dan kebutuhan mendesak, termasuk untuk proyek PSEL.” Namun, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar dari aktivis masyarakat.
Kebijakan ini datang di saat pelaku usaha masih berjuang untuk pulih dari hantaman ekonomi. Alih-alih mendapatkan dukungan, mereka justru dibebani dengan biaya tambahan yang belum jelas manfaatnya.
Pemkot Tangerang kini dihadapkan pada tantangan berat: membuktikan bahwa kebijakan ini benar-benar untuk kebaikan lingkungan dan pelayanan publik, bukan sekadar alat untuk menambah pundi-pundi kas daerah tanpa perbaikan nyata. Waktunya Pemkot Tangerang membuktikan janjinya, atau siap-siap dicap sebagai “pemerintah yang gemar memeras rakyatnya”. (PRIMA)
Red.