Syukur: Jalan Makrifat Menuju Bertambahnya Nikmat, Refleksi Kehidupan dari Kesederhanaan yang Disadari

Indonesia, Media Pojok Nasional –
Di sebuah meja kayu sederhana, terhidang secangkir kopi hitam, sebotol air mineral, dan sebatang rokok. Bagi mata yang terburu-buru, itu hanyalah rutinitas harian. Namun bagi hati yang terjaga, di sanalah Allah sedang mengajarkan makrifat tentang hidup: bahwa nikmat tidak selalu datang dalam bentuk kelimpahan, tetapi dalam kemampuan menerima dengan syukur.

Syukur dalam maqam makrifat bukan sekadar ucapan alhamdulillah, melainkan kesadaran utuh bahwa apa yang ada hari ini adalah tepat, cukup, dan disengaja oleh Allah. Tidak kurang, tidak salah waktu, dan tidak keliru takaran. Sebab rezeki tidak pernah salah alamat.

Allah SWT berfirman:
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu.”
(QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini bukan janji kosong, melainkan hukum spiritual. Penambahan nikmat bukan hadiah acak, tetapi respon Ilahi atas sikap batin manusia.

Dalam pandangan makrifat, setiap manusia telah memiliki jatah hidup, bukan hanya harta, tetapi juga usia, pertemuan, ujian, dan kebahagiaan. Namun tidak semua jatah menjadi nikmat. Nikmat baru lahir ketika manusia menerima dengan lapang, bukan menuntut dengan keluh.

Banyak orang diberi banyak, tetapi merasa sempit. Sebagian lain diberi sedikit, namun hidupnya lapang. Perbedaannya bukan pada jumlah, melainkan pada kedalaman syukur.

Karena sesungguhnya:
Yang membuat nikmat bertambah bukan apa yang datang dari langit, tetapi apa yang tumbuh di dalam hati.

Secara keilmuan, syukur melatih fokus kesadaran pada keberadaan (being), bukan kekurangan. Ia menenangkan pikiran, menguatkan jiwa, dan menjernihkan arah hidup. Secara spiritual, syukur adalah adab tertinggi kepada Allah, mengakui bahwa Dia Maha Mengatur, bahkan ketika manusia belum memahami hikmahnya.

Dalam dunia yang sibuk membandingkan, syukur adalah bentuk kemerdekaan. Dalam zaman yang penuh keluhan, syukur adalah kematangan iman. Ia tidak membuat manusia berhenti berjuang, tetapi menjaga agar perjuangan tidak berubah menjadi keserakahan.

Ketika manusia mampu mensyukuri kopi yang ia minum hari ini, udara yang ia hirup, dan ketenangan yang masih ia rasakan, saat itulah Allah menilai ia layak menerima lebih. Bukan karena Allah pelit, tetapi karena nikmat tidak akan ditambah kepada hati yang masih sibuk merasa kurang.

Karena pada akhirnya, kebenaran makrifat itu sederhana:
Jatahmu sudah ada.
Nikmatmu menunggu sikapmu.
Jika kamu bersyukur, Allah pasti menambah.

Dan kuncinya tetap satu, dari dulu hingga akhir zaman,
Syukur.
(hambaAllah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *