Oleh: Redaksi
Surabaya, Media Pojok Nasional — Viral di media sosial sebuah video yang memperlihatkan dugaan oknum anggota DPRD Bangkalan tengah berada di salah satu klub malam. Gambar bergerak itu singkat, namun gaungnya panjang. Bukan sekadar soal dugem atau hiburan malam, melainkan tentang rasa pantas, keteladanan, dan luka batin masyarakat yang merasa nilai-nilai yang mereka junjung terabaikan.
Bagi sebagian orang dewasa, dugem mungkin hanya sebentuk pelepas penat. Namun bagi masyarakat Bangkalan yang kuat dengan nilai religius dan kultural, tayangan tersebut terasa berbeda ketika yang tampak adalah figur publik, wakil rakyat, dan tokoh yang selama ini diharapkan memberi contoh.
Lebih dari itu, video tersebut beredar bebas di ruang digital ruang yang bisa diakses semua umur, termasuk pelajar. Anak-anak dan remaja yang sedang membangun cara pandang terhadap kepemimpinan, kini disuguhi potret yang menimbulkan tanya: inilah wajah wakil rakyat?
Secara hukum, tidak serta-merta terdapat larangan bagi anggota dewan untuk berada di tempat hiburan malam. Namun jabatan publik membawa konsekuensi yang tak tertulis dalam undang-undang: tanggung jawab moral. Seorang wakil rakyat bukan hanya dinilai dari apa yang ia kerjakan di ruang sidang, tetapi juga dari apa yang ia tampilkan di ruang publik.
Ketika perilaku pribadi menjadi konsumsi massal dan menimbulkan kegaduhan, di situlah batas antara hak privat dan kepantasan publik mulai dipertanyakan.
Kritik masyarakat yang bermunculan bukan semata soal dugem. Ada rasa kecewa, ada kegelisahan orang tua yang khawatir anaknya meniru apa yang dilihat, ada keresahan tokoh masyarakat yang merasa nilai-nilai lokal kian tergerus oleh tontonan viral tanpa sekat usia.
Di titik ini, persoalan menjadi lebih manusiawi: tentang perasaan dihargai atau diabaikan oleh wakilnya sendiri.
Meski belum tentu melanggar hukum pidana, perilaku tersebut dapat dinilai dari sudut etika pejabat publik. Kode etik DPRD menuntut anggotanya menjaga kehormatan dan martabat lembaga. Ketika citra itu terguncang, mekanisme etik melalui Badan Kehormatan DPRD menjadi ruang yang sah untuk menilai dan menjernihkan.
Asas praduga tak bersalah tetap harus dijunjung. Klarifikasi terbuka dari pihak yang bersangkutan akan jauh lebih menyejukkan dibanding diam yang menumbuhkan spekulasi. Dalam budaya Madura yang menjunjung kejujuran dan tanggung jawab moral, sikap ksatria kerap lebih dihargai daripada pembelaan berlapis.
Peristiwa ini mengingatkan bahwa menjadi wakil rakyat berarti siap diawasi, bahkan dalam hal yang tampak sepele. Ketokohan bukan hanya tentang jabatan, melainkan tentang keteladanan yang bisa ditonton siapa saja.
Di era digital, setiap langkah bisa direkam, dan setiap rekaman membawa konsekuensi. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengingatkan: bahwa kepemimpinan sejati juga diuji di luar gedung dewan—bahkan di lantai dansa.
Red. Tim
