Bangkalan, Media Pojok Nasional — Kasus pemerkosaan anak di Kecamatan Sepulu, Bangkalan, kembali menampar kesadaran publik bahwa daerah ini masih berada dalam situasi darurat perlindungan anak. Tragedi memilukan tersebut bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi membuka betapa rapuhnya sistem sosial dan hukum yang seharusnya melindungi korban.
Dalam episode terbaru Podcast Pejalan, host Anam menghadirkan Advokat Hajatullah, SH., MH. (Bang Jajak) untuk mengurai akar persoalan yang selama ini tidak tersentuh publik. Diskusi itu berubah menjadi semacam investigasi terbuka yang menyingkap fakta-fakta gelap di balik kasus Sepulu.
Bang Jajak menyatakan bahwa salah satu akar persoalan terbesar adalah budaya malu yang masih kuat di masyarakat Bangkalan.
“Kekerasan seksual dianggap tabu. Banyak keluarga malu buka suara. Ini yang bikin korban takut melapor,” tegasnya.
Itulah mengapa banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak di Bangkalan tidak pernah muncul ke permukaan. Korban dipaksa diam, keluarga takut pada stigma, dan masyarakat menormalisasi bungkam.
Salah satu kasus yang dibeberkan Jajak memperlihatkan hal mengerikan itu: korban sudah melapor, bahkan didampingi mahasiswa, tetapi keluarga justru menarik laporan.
Tak lama kemudian korban meninggal karena penyakit yang diperparah tekanan psikologis.
Itu bukan kecelakaan sosial — itu cermin rusaknya sistem dukungan di sekitar anak.
Fakta yang paling mengejutkan adalah jeda waktu antara laporan awal dan penindakan.
Laporan korban masuk 26 Juli.
Penangkapan pertama baru terjadi pertengahan Oktober.
Satu pelaku terdeteksi sudah berada di Malaysia.
Lima pelaku lain belum terproses.
Lambannya penegakan hukum dalam kasus Sepulu ini dinilai Jajak sebagai kegagalan struktural.
“Dua bulan itu waktu terlalu panjang. Dalam kasus seperti ini, setiap hari adalah peluang bagi pelaku kabur,” ujarnya.
Ini memperlihatkan bahwa aparat belum menempatkan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kasus prioritas, padahal korban berada dalam kondisi rentan, traumatis, dan membutuhkan perlindungan segera.
Pada awalnya publik hanya mengetahui ada 8 pelaku.
Namun hasil pemeriksaan menunjukkan ada 10 pelaku, dan hanya lima yang benar-benar berada dalam proses hukum.
Rinciannya:
2 pelaku ditahan,
2 pelaku anak di bawah umur (diproses tetapi tidak ditahan),
1 pelaku terdeteksi berada di Malaysia,
5 pelaku lainnya belum terlacak.
Perbedaan data ini menimbulkan pertanyaan besar:
apakah sejak awal ada upaya meredam skala kasus?
Atau penyelidikan baru berkembang setelah tekanan publik meningkat?
Hingga kini tidak ada penjelasan resmi yang memadai terkait selisih jumlah pelaku tersebut.
Diskusi juga mengungkap bahwa negara belum hadir secara menyeluruh dalam mendampingi korban. Dalam kasus Sepulu ini, korban menghadapi tekanan sosial yang kuat, sementara pendampingan psikologis, perlindungan keluarga, dan jaminan rasa aman masih jauh dari standar.
“Penegakan hukum itu hanya satu bagian. Yang lebih penting adalah memastikan korban tidak sendirian,” tegas Jajak.
Di banyak kasus, korban justru mengalami reviktimisasi: disalahkan, dikucilkan, atau ditekan untuk diam.
Dari serangkaian temuan yang dibongkar lewat Podcast Pejalan, tampak jelas bahwa:
- Budaya diam membunuh keberanian korban.
- Penegakan hukum lamban dan berisiko membuka peluang pelaku kabur.
- Skala kasus terkesan diremehkan di awal.
- Negara belum melakukan pendampingan menyeluruh.
Kasus di Kecamatan Sepulu bukan sekadar tragedi kriminal.
Ia adalah alarm keras bahwa Bangkalan sedang berada dalam keadaan genting soal perlindungan anak.
Dan jika pola ini dibiarkan, tragedi berikutnya tinggal menunggu waktu.
(Hanif)
Dalam episode terbaru Podcast Pejalan, host Anam menghadirkan Advokat Hajatullah, SH., MH. (Bang Jajak) untuk mengurai akar persoalan yang selama ini tidak tersentuh publik. Diskusi itu berubah menjadi semacam investigasi terbuka yang menyingkap fakta-fakta gelap d
