Gresik, Media Pojok Nasional –
Dugaan korupsi brutal mengguncang Desa Banyuwangi, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Miliaran rupiah dana desa dan bantuan khusus diduga dikorupsi melalui mark-up anggaran, proyek fiktif, dan permainan kotor lainnya. LSM Front Pembela Suara Rakyat (FPSR) menuntut audit forensik dan tindakan hukum tegas, mengingat skema ini bisa menjadi salah satu skandal keuangan desa terbesar di Gresik.

Salah satu temuan mencolok adalah proyek Pemeliharaan Fasilitas Pengelolaan Sampah Desa senilai Rp55,7 juta, yang dianggarkan dua kali tetapi realisasinya nihil. Tak hanya itu, pemeliharaan jalan desa (Rp100 juta), penguatan ketahanan pangan desa (Rp50 juta), hingga pembangunan jalan (Rp90 juta) juga diduga mengalami penggelembungan harga ekstrem dan kualitas material yang buruk.
Masuk ke tahun 2024, skandal semakin menggila. Mark-up dana bantuan khusus mencapai miliaran rupiah, termasuk Rp487 juta untuk jalan desa, Rp945 juta untuk infrastruktur sungai/kali, dan Rp115 juta untuk infrastruktur makam. Fakta lain yang mencengangkan, proyek yang seharusnya dikerjakan secara swakelola malah diserahkan ke pihak ketiga, memunculkan dugaan pengaturan tender dan permainan mafia proyek.

Selain dugaan korupsi, pemerintah desa juga sangat tertutup dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan. Sejumlah warga mengaku tidak pernah diajak musyawarah terkait proyek-proyek desa, padahal keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan adalah hak yang dijamin undang-undang.
Saat dikonfirmasi, Kepala Desa, Sekretaris Desa, hingga Kepala Dusun kompak menjawab “tidak tahu-menahu” soal proyek desa. Namun, desas-desus di masyarakat menyebut bahwa semua proyek dikuasai pihak ketiga. Bahkan lebih jauh, muncul dugaan bahwa Kades dan perangkatnya hanyalah boneka, sementara suami Kades-lah yang sebenarnya mengendalikan birokrasi desa, termasuk kebijakan anggaran dan pembangunan.

Jika tudingan ini benar, maka pemerintahan Desa Banyuwangi telah jatuh ke tangan pihak di luar sistem yang tidak memiliki wewenang. Ini bukan hanya bentuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga indikasi kejahatan sistematis yang merugikan masyarakat.
Aturan Jelas: Desa Tidak Boleh Jadi Bancakan Keluarga dan Pihak Ketiga
Jika dugaan ini terbukti, maka pemerintah desa telah melanggar banyak regulasi, di antaranya:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 26 ayat (4) huruf c: Kepala desa wajib mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel, dan tertib anggaran.
Pasal 29: Kepala desa dilarang menyalahgunakan wewenang, membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, atau menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain secara ilegal.
- Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Pasal 2 ayat (2): Pengelolaan keuangan desa harus dilakukan langsung oleh pemerintah desa, bukan oleh pihak ketiga yang tidak memiliki dasar hukum.
- UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
Pemerintah desa wajib terbuka dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan serta melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan.
LSM FPSR menegaskan bahwa skandal ini tidak bisa dibiarkan. “Ini uang rakyat yang dijarah secara sistematis! Jika aparat penegak hukum tidak bertindak, kami akan membawa kasus ini ke KPK!” tegas Ketua FPSR, Aris Gunawan.
Hingga berita ini diterbitkan, pemerintah desa masih diam seribu bahasa. Sementara itu, kemarahan aktivis semakin memuncak, menuntut transparansi dan keadilan.
Apakah hukum akan menindak tegas para pelaku, atau justru membiarkan mereka terus merampok uang rakyat…?
Red.