Jakarta, Media Pojok Nasional —Menjalani puasa kali ini di emperan gemerlap jalanan ibu kota, serasa seorang pelacur tua menjajakan tubuhnya.
Hingga sepertiga malam, di dekat Istana Negara ke arah Kota Tua, masih debu-debu tajam yang tak tampak menyapaku.
Tiada yang menganggap penting untuk tahu, siapa gerangan dan asal-muasal penjual diri ini. Mungkin separuh umurnya habis untuk menyesap keringat receh para pembelinya.
Sementara ramai langgar-langgar, masjid-masjid dan segala model sahur berikut berbuka Ramadhan menggelar aneka sangka baik ttg ’cuci gudang’ kepemurahan Tuhan, saat itulah pekerja seks yg tak lagi menarik itu berharap keajaiban meski azan Subuh berterbangan membumbung ke angkasa.
Dibilangan Lindeteves yang selalu semarak, terselip litaninya; sebelum matahari benar-benar sangar, ”Tuhan beri aku tamu! Aku malu bila harus meminta lagi sebatang rokok kepada penjual aksesoris seks di sebelahku!”.
Dia terlanjur salah dan dilempar nasib ke belantara beton yang enggan akur lagi. Tapi kata ”terlanjur” ini seperti bebas dari segala tuntutan intelektual dan moral hingga hidupnya mengalir seperti kali Ciliwung yang menampung segala limbah manusia lalu membelah jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. by : Anwar Aris. (Anam)