Bangkalan, Media Pojok Nasional — Dugaan pencabulan terhadap puluhan santri yang menyeret seorang oknum Lora (Gus) di Kecamatan Galis kembali mengguncang nurani publik. Peristiwa yang seharusnya tidak pernah terjadi di ruang pendidikan berbasis moral ini menjadi luka mendalam, bukan hanya bagi para korban, tetapi juga bagi para wali santri dan masyarakat luas yang menaruh kepercayaan besar pada lembaga pesantren.
Pihak Pondok Pesantren Nurul Karomah, tempat oknum tersebut sebelumnya beraktivitas, menyatakan telah mengambil langkah tegas.
Dalam penyampaian resmi kepada awak media, pengelola pondok menegaskan bahwa terduga pelaku sudah tidak lagi berada di lingkungan pesantren.
“Oknum yang bersangkutan saat ini tidak berada di area pesantren. Seluruh aksesnya ke lingkungan pondok telah kami tutup,” tegas perwakilan pihak pondok.
Langkah ini dipandang sebagai upaya awal untuk memutus potensi terulangnya kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Namun, di mata publik, keputusan tersebut belum sepenuhnya menjawab kegelisahan yang menggelayut di benak para korban dan keluarga mereka. Mereka bukan sekadar menuntut dikeluarkannya terduga pelaku dari pesantren, tetapi juga kejelasan hukum serta pemulihan psikologis yang nyata.
Dibalik laporan hukum dan pernyataan resmi, terdapat wajah-wajah santri yang kini menanggung luka yang tak kasat mata. Anak-anak yang semestinya pulang membawa bekal ilmu dan ketenangan justru pulang dengan beban trauma.
Beberapa korban, melalui pendampingan psikologis, disebut mengalami ketakutan berlebih, sulit tidur, serta kehilangan rasa percaya kepada lingkungan sekitarnya.
Berkaitan dengan peristiwa itu wali santri yang enggan disebutkan namanya menyatakan kepedihannya.
“Kami menitipkan anak ke pesantren dengan harapan jadi manusia berakhlak. Tapi kabar ini seperti menghancurkan rasa aman kami sebagai orang tua,” ujarnya lirih.
Kasus ini bukan hanya perkara hukum semata, tetapi cermin rapuhnya sistem perlindungan anak di ruang-ruang yang seharusnya paling aman. Ketika sosok yang diposisikan sebagai figur teladan justru diduga menjadi pelaku, maka kepercayaan publik dibuat terkoyak.
Publik kini menanti bukan hanya sanksi internal pesantren, melainkan juga langkah tegas aparat penegak hukum guna memastikan keadilan berjalan. Lebih dari itu, para korban membutuhkan pemulihan menyeluruh bukan sebatas pendampingan sementara, tetapi jaminan bahwa suara mereka didengar dan keberanian mereka diakui.
Kasus dugaan pencabulan di Ponpes Nurul Karomah Galis menjadi alarm keras bagi semua pihak. Pesantren sebagai lembaga pendidikan moral harus dibentengi dengan sistem pengawasan ketat, keberpihakan pada korban, serta transparansi dalam menangani setiap pelanggaran. Sebab, di balik setiap laporan kekerasan seksual, selalu ada anak-anak yang sedang memperjuangkan keberanian untuk kembali percaya pada dunia.
(Anam)
