Bojonegoro, Media Pojok Nasional –
Sebuah praktik rekrutmen tak biasa menyeruak dari balik lorong sunyi di Bojonegoro. Bukan dari kementerian, bukan pula dari dinas, melainkan dari sebuah organisasi bernama KOMPAKDesi (Komunitas Purna Bakti Kepala Desa Indonesia) yang tiba-tiba tampil bak lembaga resmi, menawarkan harapan dan jabatan, lengkap dengan tarif administrasi: Rp1 juta per orang.
Sebanyak 488 mantan kepala desa dikabarkan telah menyetorkan dana dengan nominal yang seragam, seolah sedang mengikuti seleksi resmi. Padahal, hingga pertengahan Juli 2025, tidak satu pun kanal pemerintah, baik Kemendes PDTT maupun DPMD Bojonegoro, mengumumkan pembukaan rekrutmen Pendamping Lokal Desa (PLD).
Alih-alih proses seleksi berbasis kompetensi, rekrutmen ini justru menyerupai reuni kekuasaan. Mayoritas pendaftar adalah eks-kades yang masa jabatannya telah rampung setelah Pilkades terakhir. Posisi PLD, yang sejatinya dirancang untuk mendampingi pembangunan desa secara profesional, kini seperti jalan memutar menuju pusat pengaruh, agar tetap bisa “menemani” musuh politik yang tengah berkuasa di desa.
Di luar janji jabatan, tak ada juknis, tak ada SK, tak ada seleksi digital, bahkan tak ada pelatihan dasar. Justru, ditemukan bahwa sebagian besar pendaftar belum akrab dengan sistem pelaporan daring yang kini jadi kewajiban PLD. Tapi tentu saja, dalam permainan lama, bukan teknis yang jadi ukuran—yang penting tetap dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Rp488 juta telah terkumpul. Belum ada laporan penggunaan, belum ada pengembalian. KOMPAKDesi masih diam. DPMD Bojonegoro mengangkat bahu. Kemendes PDTT menjauh. Bahkan kehadiran organisasi itu dalam proses rekrutmen pun tidak diakui.
Fenomena ini lebih mirip panggung politik balas dendam: mantan penguasa desa yang belum rela pensiun, mencoba kembali dengan seragam baru. Namun kali ini, tanpa suara rakyat. Hanya iuran, dan mungkin, ilusi kuasa.
Belum ada korban yang bicara. Belum ada aparat yang bergerak. Mungkin karena semuanya mantan kades, dan kita tahu, mantan, terutama yang berkuasa, tidak mudah ditinggalkan begitu saja.
Namun yang pasti, ini bukan sekadar soal Rp1 juta. Ini tentang harga diri desa yang mulai dijadikan tiket masuk ke permainan lama. Dan jika dibiarkan, pemberdayaan bisa jadi hanya kedok, sementara desa kembali jadi papan catur bagi mereka yang dulu enggan turun panggung. (hamba Allah)
