Bangkalan, Media Pojok Nasional – Penanganan kasus dugaan pencabulan terhadap santriwati di Kecamatan Galis terus menyedot perhatian publik. Seiring berkembangnya berbagai narasi di media sosial, Ketua PC KOPRI Bangkalan, Mufidatul Ulum, angkat bicara untuk meluruskan posisi organisasinya dalam mengawal kasus tersebut.
Mufidatul Ulum menegaskan bahwa peran KOPRI berada pada ranah pendampingan, fasilitasi akses keadilan, serta pengawalan moral, bukan mengambil alih tugas aparat penegak hukum.
Bentuk pendampingan yang dilakukan antara lain membantu keluarga korban memperoleh kemudahan dalam pelaporan, menjembatani akses ke UPTD PPA, hingga memberikan tekanan moral apabila laporan tidak mendapatkan respons maksimal dari pihak berwenang.
“Sejak awal kami sudah menerima informasi terkait kasus ini dan melakukan koordinasi. Pada 1 Desember, laporan resmi telah masuk ke Polda Jatim. Dalam prosesnya, kami sempat berkoordinasi dengan beberapa pihak, termasuk Kak Matur, namun keluarga akhirnya memilih satu jalur pendampingan melalui ibu Mud,” jelas Mufidatul Ulum.
Ia menambahkan, sejak 28 November, KOPRI juga sudah membangun sinergi dengan UPTD PPA Bangkalan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan pendampingan korban, terutama pada aspek pemulihan psikologis. Namun, keputusan akhir tetap diserahkan kepada keluarga korban.
“Pada prinsipnya, UPTD PPA adalah lembaga yang memiliki wewenang penuh melakukan pendampingan, jika memang korban dan keluarga berkenan. KOPRI hanya menjadi penjembatan. Kami menghormati keputusan keluarga yang memilih pendampingan satu pintu melalui BUMUD dan kuasa hukum,” terangnya.
Terkait isu yang berkembang soal klaim “menikah siri suka sama suka”, Mufidatul Ulum menegaskan bahwa hal tersebut di luar substansi kasus. Menurutnya, karena korban masih di bawah umur, maka peristiwa tersebut masuk dalam kategori perbuatan asusila dan tidak dapat dibenarkan, baik secara hukum positif maupun agama.
“Kita mayoritas warga Bangkalan mengikuti mazhab Syafi’i. Dalam fikih jelas disebutkan bahwa pernikahan wajib ada wali. Klaim nikah siri tanpa wali apalagi tanpa sepengetahuan keluarga justru menyalahi ketentuan. Faktanya, orang tua korban sendiri yang melapor,” tegasnya.
Menanggapi dorongan warganet agar aktivis perempuan lebih lantang bersuara, Mufidatul Ulum menjelaskan bahwa KOPRI telah menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk kekerasan seksual. Namun, penyampaian kepada publik dilakukan secara hati-hati agar tidak membuka aib korban maupun menimbulkan trauma lanjutan.
“Kami terus membuat konten edukasi di akun pribadi dan sedang menyusun formula komunikasi di akun resmi KOPRI agar tepat sasaran bagi masyarakat Bangkalan, yang saat ini cenderung menerima informasi mentah dari media sosial tanpa verifikasi,” ujarnya.
Mufidatul Ulum memastikan pihaknya tidak akan lepas tangan dalam mengawal kasus ini. Koordinasi lintas lembaga dengan UPTD PPA, Ibu Mud, Kohati, dan KOPRI terus dilakukan untuk merumuskan langkah-langkah selanjutnya demi memastikan perlindungan dan pemulihan maksimal bagi korban.
“Kami juga mengajak apabila ada korban lain, untuk berani speak up. UPTD PPA memiliki tenaga psikolog profesional yang siap mendampingi pemulihan para korban,” tandasnya.
Kini, kasus dugaan pencabulan di Galis telah menjadi perhatian nasional dan berada dalam atensi kementerian terkait. Masyarakat berharap proses hukum dapat berjalan transparan, objektif, dan berpihak pada kepentingan terbaik para korban, tanpa terdistorsi oleh opini menyesatkan di media sosial.
(Anam)
