Jombang, Media Pojok Nasional –
Pengelolaan Dana Desa (DD) Randuwatang, Kecamatan Kudu Tahun Anggaran 2025 memasuki zona rawan transparansi setelah data resmi menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pencairan dan pelaporan. Sistem OMSPAN di laman yang terintegrasi dengan KPK mencatat bahwa hingga 10 Juli 2025 Desa Randuwatang telah menerima Rp 475.448.400 sebagai pencairan Tahap I dari total pagu Rp 792.414.000.
Namun hingga berita ini diturunkan, tidak ditemukan satu pun realisasi kegiatan pada sistem OMSPAN, platform wajib pelaporan keuangan desa milik Kementerian Keuangan. Dalam tata kelola keuangan negara tingkat desa, dana yang sudah turun harus diikuti oleh pelaksanaan kegiatan, penyerapan anggaran, dan pelaporan resmi yang dapat diverifikasi publik. Ketidakhadiran laporan realisasi pascapencairan bukan hanya soal administrasi, melainkan indikator awal deviasi pelaksanaan.
Dokumen kegiatan 2024 menunjukkan adanya proyek “Pembangunan/Rehabilitasi/Peningkatan/Pengerasan Jalan Usaha Tani” dengan nilai Rp 174.820.688 yang dicatat bersumber dari Dana Desa tahun yang sama. Di sisi lain, Desa Randuwatang juga menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp 173,6 juta pada 2024.
Dalam analisis berbasis keuangan publik, kemiripan angka ini memunculkan tiga pertanyaan mendasar: Apakah proyek tersebut didanai Dana Desa atau DBHCHT? Jika menggunakan Dana Desa, di mana realisasi DBHCHT dicatat? Jika memakai DBHCHT, mengapa anggaran proyek tetap dibebankan ke Dana Desa? Dugaan tumpang tindih anggaran (double funding) sangat mungkin terjadi jika dua sumber pembiayaan diarahkan ke satu kegiatan tanpa dokumen perubahan anggaran dan nomenklatur yang jelas.
Sebagai bagian dari kewajiban keberimbangan informasi, media ini telah melakukan konfirmasi langsung kepada Kepala Desa Randuwatang, Syamsudin. Pertanyaan yang diajukan mencakup tiga hal krusial: alasan tidak munculnya realisasi DD Tahap I 2025 di OMSPAN, dasar pendanaan proyek Jalan Usaha Tani Rp 174,8 juta tahun 2024, dan penyerapan DBHCHT Rp 173,6 juta pada tahun yang sama.
Namun hingga berita ini diterbitkan, Syamsudin tidak memberikan jawaban, baik melalui sambungan telepon, pesan tertulis, maupun klarifikasi resmi. Diamnya kepala desa atas isu publik yang dibiayai uang negara menjadi indikator bahwa ruang informasi tidak terbuka secara sehat. Secara etik jurnalistik, hal ini juga menandakan bahwa hak jawab telah diberikan dan tidak digunakan, sehingga materi pemberitaan dinilai layak tayang dan memenuhi standar verifikasi.
Dari sudut pandang audit tata kelola, sedikitnya tiga variable krusial bisa diuji. Pertama, aspek pelaporan keuangan. Keterlambatan atau absennya pelaporan realisasi di OMSPAN pascapencairan dana ratusan juta rupiah adalah sinyal deviasi administratif dan bisa berdampak pada pemblokiran transfer tahap berikutnya. Kedua, kesesuaian sumber anggaran.
Kemiripan nominal antara proyek Jalan Usaha Tani (Rp 174,8 juta) dan DBHCHT (Rp 173,6 juta) mengarah pada kecurigaan bahwa salah satu anggaran bisa tidak tercatat, dialihkan, atau digandakan. Ketiga, audit dokumen pembanding. Pemeriksaan terhadap APBDes 2024, LPJ kegiatan fisik, dokumen DBHCHT, buku kas umum desa, dan pelaporan OMSPAN akan segera menunjukkan apakah terjadi duplikasi belanja atau pengaburan sumber dana.
Konstruksi faktanya lengkap: Dana Desa 2025 Tahap I Rp 475,4 juta sudah cair, realisasi tidak muncul di OMSPAN, proyek 2024 senilai Rp 174,8 juta beririsan dengan DBHCHT Rp 173,6 juta, dan kepala desa tidak menggunakan hak jawab. Dengan elemen ini, publik memiliki alasan kuat untuk mempertanyakan keterbukaan, sementara aparat pengawas memiliki landasan untuk melakukan audit korektif dan investigatif. (hamba Allah)