Madiun,Media Pojok Nasional –
Di tengah arus modernisasi yang kerap menggerus identitas desa, Pemerintah Desa Banjarsari Kulon, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, memilih jalan berbeda: melestarikan kearifan lokal sebagai fondasi penguatan ekonomi desa. Pilihan ini diwujudkan melalui pengembangan wisata religi yang berakar pada sejarah, nilai spiritual, dan tradisi masyarakat setempat.
Kebijakan ini bukan sekadar strategi pariwisata, melainkan pendekatan pembangunan berbasis nilai. Desa Banjarsari Kulon memandang bahwa kearifan lokal—jika dikelola dengan kesadaran sejarah dan etika sosial—dapat menjadi sumber daya ekonomi yang berkelanjutan tanpa kehilangan makna.

Pengembangan wisata religi di Banjarsari Kulon tidak dapat dilepaskan dari warisan Kiai Ageng Muhammad bin Umar, pendiri Perdikan sekaligus Pesantren Ageng Banjarsari. Manakib beliau yang menekankan akhlak, kesederhanaan, dan pengabdian sosial telah membentuk karakter religius masyarakat hingga kini.
Pemerintah desa bersama tokoh agama dan sesepuh desa menempatkan nilai-nilai tersebut sebagai modal sosial. Kegiatan ziarah, manakiban, haul, dan pengajian rutin dipertahankan bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai ruang edukasi sejarah dan pembentukan etika kolektif masyarakat.
Dengan demikian, wisata religi di Banjarsari Kulon tidak terlepas dari akar spiritualnya. Desa menjaga kesakralan lokasi ziarah, tata krama peziarah, serta narasi sejarah agar tidak tereduksi menjadi komoditas semata.
Dalam praktiknya, Pemerintah Desa Banjarsari Kulon aktif melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan religi. Gotong royong, musyawarah desa, serta peran lembaga kemasyarakatan menjadi instrumen utama pelestarian kearifan lokal.
Penataan lingkungan kawasan ziarah, kebersihan area, serta penyediaan akses yang layak dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Masyarakat tidak ditempatkan sebagai penonton, melainkan sebagai pelaku utama pelestarian tradisi dan penerima manfaat ekonomi.
Pendekatan ini memperkuat ikatan sosial desa sekaligus menjaga kesinambungan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan lintas generasi.
Dari sisi ekonomi, geliat wisata religi memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Aktivitas peziarah mendorong tumbuhnya UMKM lokal, kuliner tradisional, perdagangan musiman, serta jasa pendukung berbasis rumah tangga.
Pemerintah desa mendorong agar perputaran ekonomi ini tetap berada di tingkat lokal, sehingga manfaat wisata dapat dirasakan secara merata oleh warga. Dengan demikian, wisata religi tidak menciptakan ketimpangan, tetapi menjadi instrumen penguatan ekonomi rakyat.
Di bawah kepemimpinan Bambang Hermawan, Kepala Desa berlatar belakang Punawirawan TNI, pengembangan wisata religi diarahkan secara tertib dan berjangka panjang. Disiplin tata kelola, ketegasan regulasi desa, serta pengawasan sosial menjadi penopang keberlanjutan program.
Bagi pemerintah desa, pembangunan bukan sekadar soal pertumbuhan ekonomi, melainkan juga ketahanan moral dan sosial. Wisata religi dipandang sebagai ruang temu antara pembangunan, budaya, dan spiritualitas.
Desa Banjarsari Kulon menunjukkan bahwa pelestarian kearifan lokal bukan hambatan pembangunan, melainkan justru sumber kekuatan. Dengan menjadikan wisata religi sebagai poros, pemerintah desa berhasil menjaga warisan sejarah, memperkuat identitas sosial, dan sekaligus menggerakkan perekonomian masyarakat.
Di tengah dunia yang kerap tercerabut dari akar nilai, Banjarsari Kulon hadir sebagai contoh bahwa desa yang setia pada sejarahnya adalah desa yang siap menatap masa depan.
Red. Wj
