Bangkalan, Media Pojok Nasional — Kejaksaan Negeri (Kejari) Bangkalan terus menunjukkan komitmennya dalam menghadirkan keadilan yang lebih dekat dengan masyarakat. Salah satu langkah konkretnya adalah membangun 13 Rumah Restorative Justice (RJ) yang tersebar di sejumlah desa. Program ini menjadi bentuk terobosan dalam penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan yang humanis, cepat, dan berbasis musyawarah.
Restorative justice sendiri merupakan mekanisme penegakan hukum yang menitikberatkan pada pemulihan kembali hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini mengedepankan dialog, kesepakatan, dan mediasi sebagai solusi, dibanding sekadar menjatuhkan hukuman pidana. Tujuannya adalah mengembalikan keadaan seperti semula tanpa mengabaikan rasa keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Di Indonesia, penerapan RJ telah memiliki dasar hukum yang kuat, di antaranya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 serta Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020. Aturan tersebut memberi ruang bagi aparat penegak hukum untuk menempuh jalur pemulihan sebagai alternatif penyelesaian perkara tertentu.
Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Bangkalan, Hendrik Murbawan, S.H., M.H., menegaskan bahwa pendirian Rumah RJ bukan hanya bertujuan sebagai lokasi mediasi perkara, tetapi juga sebagai pusat edukasi hukum masyarakat.
“Rumah Restorative Justice kami dirikan agar layanan hukum semakin dekat dengan masyarakat desa. Tidak semua perkara harus berakhir di meja hijau. Melalui RJ, kami ingin mendorong penyelesaian yang memulihkan, bukan semata-mata menghukum,” ujar Hendrik.
Ia menjelaskan bahwa penerapan RJ dilakukan secara selektif. Hanya perkara dengan ancaman pidana maksimal lima tahun, pelaku bukan residivis, dan terdapat kesukarelaan dari kedua belah pihak untuk berdamai yang dapat diproses melalui mekanisme ini. Selain itu, proses musyawarah harus melibatkan tokoh masyarakat atau perangkat desa sebagai unsur pengawasan.
“Kriterianya sudah sangat jelas dan ketat. Tidak boleh ada tekanan atau paksaan. RJ harus berlangsung secara terbuka, jujur, dan benar-benar berorientasi pada pemulihan,” tambahnya.
Meski mengedepankan pendekatan damai, Hendrik menegaskan bahwa RJ bukan berarti memberi kebebasan tanpa pertanggungjawaban. Dalam praktiknya, pelaku tetap dikenai sanksi sosial yang disepakati bersama sebagai bentuk penebusan moral.
“Efek jera tetap harus ada. Sanksi sosial seperti kerja bakti atau kegiatan sosial menjadi wujud tanggung jawab pelaku kepada masyarakat. Yang utama, relasi yang sempat rusak bisa kembali pulih,” tegasnya.
Tidak hanya memfasilitasi mediasi perkara, Rumah RJ juga menjadi wadah sosialisasi dan edukasi hukum, mencakup pemahaman hukum pidana, perlindungan hukum warga, hingga penguatan budaya musyawarah sebagai kearifan lokal.
Dengan telah berdirinya 13 Rumah RJ di berbagai desa, Kejari Bangkalan optimistis kehadiran program ini akan semakin memperkokoh kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang lebih humanis, responsif, dan berkeadilan sosial, sekaligus menjadikan desa sebagai garda terdepan dalam penyelesaian konflik berbasis perdamaian.
(Anam)
