Pernyataan Kades Bandung Soal Audit: Benarkah Inspektorat Harus Menunggu Permintaan Desa?

Jombang, Media Pojok Nasional –
Pernyataan Kepala Desa Bandung, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Anang Fauzi, mendadak menuai tanda tanya besar di kalangan publik pemerhati tata kelola keuangan desa. Dalam pesan singkat yang diterimanya, Anang menyebut, “Bendahara memang lagi sibuk persiapan monev inspektorat, karena tiap tahun saya memang minta untuk diaudit inspektorat di akhir tahun anggaran.”

Sebuah kalimat sederhana, namun menyimpan persoalan serius dari sisi regulasi dan logika pengawasan pemerintahan.

Secara normatif, mekanisme pengawasan internal pemerintah daerah telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Inspektorat Daerah.
Dalam pasal-pasalnya, ditegaskan bahwa Inspektorat Daerah bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pengelolaan keuangan desa, secara berkala, sistematis, dan berdasarkan rencana kerja tahunan (PKPT).

Artinya, audit atau monitoring dan evaluasi (monev) bukanlah agenda yang muncul atas “permintaan” kepala desa, melainkan bagian dari agenda tahunan yang disusun Inspektorat sendiri berdasarkan analisis risiko, laporan realisasi anggaran, serta laporan pertanggungjawaban (LPJ) desa.

Pernyataan Kades Anang bahwa “tiap tahun saya memang minta untuk diaudit” dapat dianggap berlebihan, bahkan berpotensi memutarbalikkan persepsi publik bahwa pengawasan hanya dilakukan jika desa bersedia atau meminta. Padahal, Inspektorat memiliki kewajiban melekat melakukan monev tanpa harus menunggu sinyal dari pemerintah desa.

Dalam sistem tata kelola keuangan negara, desa merupakan entitas pengguna anggaran publik yang wajib tunduk pada asas transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa.
Kedua regulasi itu mengamanatkan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan keuangan desa dilakukan oleh tiga lapis kontrol:

  1. Masyarakat Desa (melalui Musyawarah dan BPD),
  2. Camat dan Dinas PMD sebagai pembina teknis,
  3. Inspektorat Daerah sebagai pengawas fungsional.

Dengan demikian, mekanisme audit atau monev adalah fungsi negara untuk memastikan uang publik dikelola sesuai peraturan, bukan fasilitas yang diminta kepala desa secara pribadi.

Dalam perspektif ilmu administrasi publik dan psikologi kekuasaan, pernyataan Kades Anang dapat dibaca sebagai strategi “control framing”, di mana pemimpin mencoba menampilkan dirinya seolah berada dalam posisi mengendalikan pengawasan.
Ungkapan “saya minta untuk diaudit” memberi kesan bahwa pengawasan berjalan atas inisiatif kepala desa, bukan karena kewajiban sistemik.

Secara psikologis, ini berpotensi membentuk persepsi publik yang bias, seakan pemerintah desa berada di atas mekanisme kontrol. Padahal, dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), posisi kepala desa adalah objek audit, bukan penentu momentum audit.

Di sisi lain, jika benar bahwa Inspektorat hanya turun karena “permintaan”, maka muncul pertanyaan lebih tajam: Apakah fungsi pengawasan di Kabupaten Jombang telah berjalan sesuai prinsip regulatif dan independensi?

Audit atau monev inspektorat sejatinya bukan rutinitas seremonial tahunan. Ia adalah alat ukur integritas dan tata kelola anggaran publik. Ketika kepala desa menjadikannya seolah agenda “permintaan”, maka fungsi kontrol kehilangan independensinya dan berubah menjadi formalitas administratif tanpa makna substantif.

Kepala Desa mestinya menjadi pihak yang siap diaudit kapan saja, bukan pihak yang menentukan kapan audit perlu dilakukan. Sebab, dana desa, termasuk di Desa Bandung dengan pagu mencapai Rp 1,44 miliar tahun 2025, adalah uang publik yang wajib diawasi secara berkelanjutan.

Secara keilmuan, pernyataan Kades Anang Fauzi tidak selaras dengan prinsip dasar tata kelola keuangan publik dan sistem pengawasan internal pemerintah daerah, Inspektorat tidak menunggu permintaan, mereka memiliki rencana, jadwal, dan mandat hukum untuk memeriksa semua entitas pengguna anggaran, termasuk desa.

Jika pengawasan berubah menjadi “atas permintaan”, maka kemandirian fungsi audit runtuh, dan potensi moral hazard meningkat. Pernyataan Anang Fauzi harus dibaca bukan sebagai bentuk keterbukaan, tetapi sebagai indikasi miskonsepsi atas peran kontrol publik. (hambaAllah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *