Surabaya, Media Pojok Nasional –
Dalam peradaban yang terus berbicara tentang cinta, loyalitas, dan ketulusan, muncul satu suara dari kedalaman kesadaran manusia yang menantang seluruh dogma lama tentang arti kesetiaan. Ia menyebut dirinya “Putra Melas”, manusia yang melihat kesetiaan bukan sebagai kemuliaan, melainkan sebagai ilusi paling halus yang diciptakan oleh hati manusia untuk menutupi ketidakmampuan memahami dirinya sendiri.
Ia menegaskan: “Kesetiaan selalu mendapatkan penghianatan. Apakah itu kodrat atau kebodohan?” Sebuah kalimat yang terdengar seperti pisau bedah yang membuka luka psikologis umat manusia: bahwa setia seringkali hanyalah bentuk kebodohan yang dinobatkan sebagai kebajikan.
Dalam pandangannya, kesetiaan yang sejati justru menyimpan energi paling gelap dalam jiwa manusia. Ia berkata, “Kesetiaan hati yang paling dalam adalah dendam yang tidak ada maafnya.” ungkapnya.
Di sini, ia menggugat akar moralitas klasik, bahwa hati yang setia sejatinya bukan penuh cinta, tetapi penuh luka. Dan dari luka itulah dendam tumbuh, membentuk manusia menjadi makhluk yang haus pembalasan, bukan kedamaian.
Secara psikologis, teori ini menggetarkan. Psikologi modern kerap menganggap kesetiaan sebagai bagian dari kebutuhan dasar untuk keterikatan (attachment). Namun Putra Melas menolak itu mentah-mentah. Baginya, kesetiaan bukan attachment tetapi enslavement of emotion, perbudakan emosi yang membuat manusia kehilangan rasionalitas, lalu menyalahkan takdir saat dikhianati.
“Menungso nak wes gak iso mikir mesti nyalahno kodrat, nasib, takdir, padahal seng gawe kodrat, takdir, nasip iku yo menungso dewe.” ujarnya dalam satu renungan panjang.
Kalimat ini menolak pasrah buta. Ia menuding manusia sendiri sebagai pembentuk kodratnya, bukan korban nasib, melainkan pencipta kehancurannya.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada manusia yang benar-benar setia. “Setia itu cinta buta yang dikuasai nafsu,” katanya. Dalam logika teologisnya, kesetiaan kepada manusia adalah bentuk kemunafikan paling besar, sebab manusia sendiri rapuh, berubah, dan saling menuntut.
“Setia kepada manusia itu kehancuran yang paling dahsyat, Aku hanya setia kepada Tuhan, karena itu Tuhanku.” jelasnya.
Konsep ini membawa kita pada filosofi eksistensial: kesetiaan seharusnya vertikal, bukan horizontal. Setia kepada sesama manusia hanyalah permainan ego, sementara kesetiaan kepada Sang Pencipta adalah satu-satunya bentuk pengabdian yang tidak berujung kekecewaan.
Dalam analisis filsafat modern, gagasan ini sejalan dengan pemikiran Nietzsche tentang kematian nilai-nilai absolut manusia. Manusia menuhankan cinta dan kesetiaan, padahal keduanya hanyalah manifestasi dari keinginan memiliki, bukan pengorbanan sejati.
Ia juga menelanjangi dinamika batin orang yang dikhianati. “Dari hati yang sudah hancur, di situlah balas dendam hati bertempur dengan rasa dendam yang sangat dahsyat.” ucapnya.
Ini bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan deskripsi akurat tentang apa yang dalam psikologi disebut trauma attachment disorder, ketika cinta yang dalam berubah menjadi sumber kebencian yang tidak bisa disembuhkan.
Dalam pandangan Saiful, kesetiaan tidak pernah murni. Ia lahir dari rasa takut kehilangan, bukan dari kesadaran mencintai. Karena itu, pengkhianatan hanyalah refleksi dari harapan yang terlalu tinggi.
“Banyak manusia berkata: orang itu sangat setia tapi dihianati, kasihan. Bodoh yang bilang begitu,” ujarnya tajam. “Hati orang yang setia lebih kejam, karena di dalamnya tidak ada maaf.”tambahnya.
Pada akhirnya, Putra Melas menutup dengan kalimat yang terdengar sederhana, namun sesungguhnya mengandung puncak pencerahan spiritual: “Salahku dewe, aku nerimo, iku wong sing setia sak benere, gak onok tuntutan ati.” tegasnya.
Kalimat ini adalah titik temu antara kesadaran dan kebijaksanaan. Bahwa kesetiaan sejati bukan pada siapa yang kita jaga, tapi pada kemampuan menerima, tanpa tuntutan, tanpa harapan, tanpa dendam.
Ia menolak glorifikasi kesetiaan buta. Ia mengubahnya menjadi pernyataan filosofis: Kesetiaan adalah ruang sunyi antara logika dan luka. Ia bisa menjadi cahaya jika diarahkan ke Tuhan, tapi akan menjadi kegelapan jika ditujukan pada manusia.
Pemikiran Putra Melas adalah tamparan keras bagi sistem nilai modern yang mengkultuskan kesetiaan dalam relasi manusia. Ia memaksa kita meninjau ulang, apakah setia adalah kebajikan, atau justru bentuk perbudakan emosional yang dibungkus kata cinta.
Di tengah dunia yang haus kepastian dan pengakuan, kalimatnya bergema seperti doa yang menolak ilusi:
“Kesetiaan dan penghianatan hanyalah dua wajah dari kebodohan yang sama.” tuturnya.
Sebuah pernyataan yang mungkin, bagi sebagian orang, terdengar sinis. Tapi di kedalaman maknanya, tersimpan ajaran tertinggi: bahwa hanya dengan memahami kebodohan diri, manusia dapat benar-benar menemukan kesetiaan sejati.
Kesetiaan, menurut Saiful Macan sang Putra Melas, bukan soal tetap bertahan pada seseorang, melainkan tetap waras di tengah badai perasaan yang ingin memecah manusia dari dirinya sendiri. (hambaAllah).
