Jombang, Media Pojok Nasional –
Seleksi perangkat desa di Pulorejo, Kecamatan Tembelang, telah memicu benturan keras antara Kepala Desa dan sekelompok warga yang diduga memiliki kepentingan langsung terhadap hasil seleksi. Ketegangan ini tidak hanya berhenti di tahap teknis, tapi telah menyeret desa ke dalam pusaran konflik sosial, tekanan politik, dan jalur hukum yang kompleks.
Banyak pihak menuding Kepala Desa melakukan manuver dalam proses seleksi. Namun hingga kini, tuduhan itu belum disertai bukti konkret. Meski begitu, narasi telah terbentuk, opini telah beredar, dan tekanan terhadap pemerintah desa terus bergulir. Di tengah ketegangan itu, nama Fery Leo Ronald mencuat sebagai pelapor dalam dugaan tindak pidana pencurian dan penggelapan.
Laporan tersebut teregister pada 24 Juni 2025 di Polres Jombang, dengan nomor: LPM/444/RESKRIM/VI/2025/SPKT/Polres Jombang/Polda Jatim. Penanganan dilakukan oleh penyidik IPDA Rendro Lastono, S.H., sesuai SP2HP/996/VI/RES.1.8/2025/Satreskrim.
Namun dinamika yang muncul menunjukkan Fery tidak bertindak atas dorongan pribadi semata. Serangkaian langkah dan komunikasi yang dilakukan mengarah pada keterlibatan pihak lain yang berada di balik layar. Fery diduga hanya menjadi boneka dalam skenario yang lebih besar untuk menjerat Kepala Desa ke ranah pidana, melemahkan legitimasi pemerintahan.
Situasi kian panas saat seorang wartawan lokal didatangi langsung oleh warga yang tidak memiliki posisi resmi dalam proses seleksi. Pertemuan berlangsung tertutup. Tujuannya tidak pernah dijelaskan, namun dari sudut pandang, sulit memisahkan fakta tersebut dari rangkaian upaya intervensi opini publik.
Desa Pulorejo pun terseret dalam ketegangan berkepanjangan. Antara kelompok yang mendukung Kepala Desa menjaga stabilitas pemerintahan, dan pihak yang terus mendesakkan agenda melalui jalur sosial dan hukum. Benturan tak terhindarkan. Perbedaan narasi menjalar ke percakapan warga. Suasana kondusif perlahan memudar.
Padahal, jabatan perangkat desa sejatinya bukan medan kuasa. Gaji yang diterima tak sepadan dengan gelombang konflik yang lahir. Seleksi yang seharusnya menjadi ruang kaderisasi kini menjelma menjadi medan tarik-menarik kepentingan. Energi sosial terkuras. Kepercayaan antarwarga melemah.
Apa yang terjadi hari ini bukan sekadar kontestasi administratif. Ini adalah ujian sejarah bagi desa yang pernah tenteram. Jika tak dihentikan, konflik ini hanya akan menyisakan trauma kolektif. Anak cucu mereka kelak tidak akan mengingat siapa yang lolos seleksi, tapi akan mencatat bagaimana desanya pernah terbelah hanya karena perebutan kursi pengabdian.
Pulorejo masih punya kesempatan untuk kembali waras. Tapi waktu terus berjalan. Dan setiap langkah hari ini akan ditulis dalam ingatan sejarah yang tak akan hilang begitu saja. (hamba Allah).