Bojonegoro, Media Pojok Nasional –
Narasi efisiensi dan pelayanan publik kembali diuji di Kabupaten Bojonegoro. Dalam forum rapat koordinasi perencanaan dan penganggaran mobil siaga desa yang digelar Rabu, 21 Mei 2025, suara keras muncul dari Samudi, Kepala Desa Kepohkidul sekaligus Ketua Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) Bojonegoro.
Dengan nada tegas dan berbekal pengalaman pahit masa lalu, Samudi menolak skema bantuan uang tunai untuk desa dalam pengadaan mobil siaga. Ia lebih memilih agar bantuan diwujudkan langsung dalam bentuk kendaraan siap pakai. Alasannya? Sederhana tapi tajam: “Biar tidak berakhir di meja hijau lagi.”
Pengadaan tahap pertama, yang semestinya menjadi momentum penguatan layanan darurat di desa, justru menjadi ladang praktik menyimpang. Lemahnya kapasitas administratif desa, ditambah minimnya pengawasan, membuka ruang selebar-lebarnya bagi permainan anggaran, spesifikasi fiktif, hingga pengadaan menyimpang, Imbasnya, kepala desa harus duduk di kursi terdakwa. Desa menanggung beban citra, sementara warga tak kunjung menerima manfaat.
“Kalau bicara profesionalitas, Pemkab punya segalanya—SDM, sistem, pengalaman. Masa kita paksa desa mengulang risiko yang sama? Itu bukan kebijakan, itu jebakan,” tegas Samudi.
Pernyataan Samudi bukan sekadar gugatan teknis. Ia sedang menantang logika kebijakan yang kadang terselip motif populis tanpa kalkulasi risiko. Memberikan uang ke desa untuk membeli sendiri mobil siaga adalah keputusan yang secara administratif sah, tetapi secara operasional liar.
“Ini bukan soal siapa belanja. Ini soal bagaimana kebijakan menjaga desa dari kehancuran sistemik akibat ketidakmampuan mengelola proyek di luar kapasitas,” lanjutnya.
Sebanyak 33 desa dari 18 kecamatan masuk dalam daftar penerima mobil siaga tahun ini. Namun pertanyaannya kini bukan lagi “berapa yang dapat”, melainkan “seperti apa mekanismenya agar tidak menjadi titik awal skandal jilid dua”.
Pakar kebijakan publik menilai langkah Samudi membuka ruang refleksi: bahwa desentralisasi bukan berarti melempar tanggung jawab begitu saja ke desa. Ada garis batas antara kemandirian dan pembiaran. Dan pengadaan mobil siaga menjadi cermin apakah pemerintah serius membangun desa, atau sekadar menjadikan mereka ladang proyek dan pelampiasan birokrasi. (hamba Allah).