KOHATI Bangkalan Bersamai Korban Dugaan Kasus Pencabulan oleh Oknum Lora di Galis Pada Santrinya

Bangkalan, Media Pojok Nasional — Sore itu, di tengah aktivitasnya sebagai Ketua Umum Kohati Cabang Bangkalan, Qurrotul Aini menerima pesan singkat dari Anam, seorang jurnalis yang tengah mengawal kasus dugaan pencabulan oleh seorang oknum lora di Kecamatan Galis. Percakapan sederhana melalui WhatsApp itu berubah menjadi ruang suara bagi seorang aktivis perempuan yang tengah menyaksikan luka sosial di daerahnya.

Kasus yang melibatkan seorang tokoh agama dan diduga mencabuli santri hingga akhirnya terlapor menyerahkan diri ke Polda Jatim menciptakan gelombang kepedihan dan kecemasan di masyarakat. Di balik berita hukum, ada wajah-wajah murid kecil yang ketakutan, orang tua yang bingung harus berpegang pada siapa, serta para perempuan muda yang merasa tanggung jawab moralnya semakin berat.

Dalam keterangannya, Aini menuturkan dengan nada getir namun tegas.

“Kohati sangat perhatian dan menyayangkan kasus pelecehan seksual kembali terjadi di Kabupaten Bangkalan. Kohati percaya dan mendukung penuh penegakan hukum yang sedang berlangsung. Saya yakin pihak kepolisian akan melakukan tugasnya dengan profesional dan proporsional.” ujarnya.

Bagi Aini, kasus ini bukan sekadar persoalan pidana. Ini adalah tamparan sosial, mengingat Bangkalan adalah wilayah yang kuat dengan tradisi agama dan pendidikan pesantren. Ketika oknum pemangku keilmuan justru mencederai amanahnya, luka itu dirasakan bukan hanya oleh korban tetapi oleh seluruh masyarakat.

Aini menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak boleh hanya menjadi penonton.

“Kohati menekan pemerintah untuk proaktif dalam setiap kasus kekerasan seksual yang terjadi. Pemerintah Kabupaten Bangkalan harus memastikan keberlangsungan pendidikan pondok pesantren.” terangnya.

Dibalik seruannya, ada kekhawatiran yang lebih manusiawi, jangan sampai anak-anak kehilangan kepercayaan terhadap lembaga tempat mereka menuntut ilmu.

Ia memahami betul, banyak santri yang takut kembali mondok, dan banyak orang tua kini berada pada dilema: antara menjaga masa depan pendidikan anak atau menghindarkan mereka dari risiko kekerasan.

Aini menyuarakan satu hal yang sangat penting, yaitu pencegahan.

“Dalam penerapan pendidikan anti pelecehan dan kekerasan seksual sejak dini, Kohati mendorong agar pemerintah membuka akses bagi kami untuk lebih berperan dalam ranah perempuan dan anak.”

KOHATI Bangkalan menurutnya tidak hanya ingin hadir setelah korban mengalami trauma. Mereka ingin berada sebelum luka itu terjadi mengajari anak untuk mengenali bahaya, mengajari orang tua cara merespons, dan membantu pesantren menciptakan ruang aman.

Nada suara Aini mengeras ketika berbicara soal pendampingan.

“Kohati berkomitmen untuk terus tegak lurus memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak. Segala bentuk pendampingan akan terus kami lakukan sebagai bagian dari memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.” ujarnya berkomitmen.

Baginya, pendampingan bukan hanya soal menemani proses hukum. Itu juga berarti menjadi teman bicara ketika korban menangis, menjadi pelindung ketika keluarga merasa diintimidasi, menjadi suara ketika mereka tak mampu menyuarakan rasa sakitnya sendiri.

Menutup pernyataannya, Aini menyampaikan pesan yang begitu menyentuh.

“Kami berharap kasus ini tidak menjadi traumatis bagi siswa dan orang tua terhadap dunia pendidikan dan pondok pesantren.” ujarnya penuh harap.

Ia tahu, luka ini belum benar-benar sembuh. Ia tahu, kepercayaan masyarakat sedang rapuh. Namun ia percaya dengan pendampingan yang benar, penegakan hukum yang tegas, dan keberanian korban yang didukung oleh banyak pihak Bangkalan bisa bangkit dan memastikan pesantren kembali menjadi rumah yang aman bagi anak-anak.
(Anam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *