Bangkalan, Media Pojok Nasional —
Gelombang kekecewaan masyarakat Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, terhadap penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) kembali mencuat. Warga menilai bantuan yang seharusnya ditujukan kepada masyarakat miskin, justru jatuh ke tangan orang yang tergolong mampu.
“Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah melarat,” keluh seorang warga Dusun Sumberbaru, menggambarkan ketimpangan nyata dalam distribusi bantuan. Keresahan ini tak datang tanpa alasan. Di beberapa desa, warga melihat langsung keluarga yang memiliki kendaraan dan rumah layak justru tercatat sebagai penerima aktif PKH dan BPNT, sementara janda miskin atau buruh tani malah terabaikan.
Diduga Karena Data Tak Akurat dan Proses yang Tidak Transparan
Sejumlah pihak menilai akar masalah terletak pada proses pendataan yang tidak akurat dan minim transparansi. Meskipun pemerintah mengklaim menggunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN)—gabungan dari DTKS, TIGAKE, dan REGSOSAT—fakta di lapangan menunjukkan masih terjadi inclusion error (orang kaya menerima bantuan) dan exclusion error (orang miskin tak tercatat).
Pendataan awal dilakukan dari tingkat RT/RW hingga musyawarah desa, namun menurut pantauan warga, banyak proses yang hanya formalitas. Masyarakat umum sering kali tidak dilibatkan aktif dalam verifikasi atau pengusulan, dan hanya menerima hasil yang telah ditentukan.
Pendamping PKH di tingkat desa juga dikritik hanya bertugas memverifikasi data yang sudah masuk, bukan menjadi pengusul aktif. Hal ini memperlemah koreksi data lapangan dan memperbesar peluang ketimpangan.
LSM GARABS: “Banyak Penerima Tak Layak, Pemerintah Harus Evaluasi Menyeluruh”
Lembaga Swadaya Masyarakat GARABS (Gerakan Rakyat Bangkalan Sejahtera) turut angkat bicara. Dalam pemantauan mereka di beberapa desa di Kecamatan Arosbaya, ditemukan kejanggalan serius. Wakil Ketua GARABS, Hasan, menyebut ada pola yang berulang di mana penerima bantuan tidak sesuai dengan indikator kemiskinan.
“Masih banyak janda miskin, lansia sebatang kara, dan pekerja kasar yang tidak pernah tersentuh bantuan. Sementara yang memiliki usaha besar atau kendaraan pribadi malah rutin menerima. Ini bukan hanya kelalaian, ini keliru sistemik,” tegasnya.
GARABS menilai, lemahnya pengawasan dari Dinas Sosial Kabupaten Bangkalan serta kurangnya partisipasi publik dalam musyawarah pendataan menjadi sumber utama permasalahan ini. Mereka mendesak:
Pemerintah daerah agar segera melakukan audit ulang data penerima bantuan di seluruh desa di Arosbaya;
Dinas Sosial Kabupaten Bangkalan agar mengintensifkan pengawasan dan membuka kanal aduan masyarakat secara efektif;
Pendamping PKH dan perangkat desa agar bekerja secara profesional dan transparan;
Masyarakat agar berani menyuarakan ketimpangan dan ikut serta aktif dalam pengusulan maupun pengawasan bantuan.
Harapan untuk Perbaikan
Pemerintah Kecamatan Arosbaya diminta untuk tidak tinggal diam. Camat dan para kepala desa perlu mengevaluasi kembali komitmen dalam melaksanakan asas keadilan sosial, termasuk mendukung usulan perbaikan dari warga dan LSM.
“Kami ingin bantuan itu benar-benar menyentuh mereka yang membutuhkan. Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah makin runtuh hanya karena persoalan data yang bisa diperbaiki,” pungkas Hasan.
Penyaluran bansos adalah amanat negara. Jika tidak tepat sasaran, maka hak rakyat telah dicederai. Maka, keterlibatan semua elemen—pemerintah, pendamping sosial, aparat desa, dan masyarakat sipil—menjadi kunci agar bansos tidak sekadar simbol, tapi solusi nyata untuk pengentasan kemiskinan.
“Yuk, awasi bersama. Laporkan jika ada kejanggalan. Karena bantuan sosial adalah hak mereka yang benar-benar membutuhkan!” ujarnya bernada ajakan. (Hanif)