Lamongan, Media Pojok Nasional –
Dunia jurnalistik kembali dibuat geleng kepala. Sebuah video berdurasi 4 menit 16 detik beredar luas dan menuai sorotan tajam. Seorang pria berperawakan kurus, berambut gondrong, mengenakan topi, mengaku bernama Mubin, merekam dirinya sendiri sembari melontarkan narasi yang menyudutkan media sebagai pengganggu pembangunan desa.
Ia menyebut, laporan-laporan dari media dan LSM telah menyebabkan pembangunan terhambat karena kepala desa dan kelompok masyarakat (pokmas) kerap dipanggil oleh aparat penegak hukum (APH). Tanpa menjelaskan secara gamblang kapasitas dan posisinya dalam struktur pemerintahan desa, Mubin mengklaim mendapat informasi dari kepala desa, perangkat desa, hingga pokmas.
“Yang ujung-ujungnya mereka (media) akan melakukan negosiasi dengan pemerintah desa atau pokmas,” ucapnya dalam video. Sebuah tuduhan serius yang menyudutkan peran media.
Lebih jauh, ia menuding bahwa pengaduan masyarakat—terkait program seperti PTSL dan BKK Provinsi—telah menyebabkan mandeknya pembangunan desa. Ia bahkan berani menyebut, aduan-aduan itu mengada-ada, seolah ingin mengaburkan fakta bahwa setiap rupiah uang rakyat wajib dipertanggungjawabkan secara transparan.
Yang lebih mencengangkan, dengan nada Dugaan, Mubin menuding aparat penegak hukum telah menjadikan aduan sebagai pintu masuk bagi praktik-praktik transaksional yang menyimpang. “Ada yang menyerahkan satu bendel maupun tiga bendel,” katanya, dengan nada yang tak hanya sembrono, tetapi juga berpotensi menyesatkan opini publik.
Ia juga mengajak masyarakat untuk turun ke Polres Lamongan pada 25 April sebagai bentuk refleksi terhadap aparat. Sebuah ajakan yang terkesan mengompori, alih-alih memberikan solusi atau membuka ruang diskusi publik yang sehat.
Redaksi menilai, video ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai opini pribadi. Ini adalah bentuk serangan langsung terhadap fungsi pengawasan, keterbukaan informasi, dan kebebasan pers.
Kepala desa, perangkat, hingga pokmas seharusnya tak perlu merasa terusik jika memang tak menyembunyikan sesuatu. Karena sekali lagi, kalau bersih, kenapa harus risih?
Fungsi kontrol publik oleh media adalah bagian sah dalam demokrasi. Setiap pembangunan yang menyentuh uang negara, menyentuh hak rakyat, maka terbuka untuk dikritisi dan diawasi. apalagi dibungkam dengan narasi murahan yang hanya akan melanggengkan korupsi berjubah pembangunan.
Bila benar ada yang merasa difitnah oleh laporan LSM, jalur hukum terbuka. Tapi jika media hanya menjalankan fungsi kontrol sosial berdasarkan data dan temuan lapangan, maka pihak manapun tak berhak menggertak apalagi mendeligitimasi peran tersebut.
Narasi seperti yang disampaikan Mubin tak hanya keliru secara substansi, tetapi juga gagal memahami esensi demokrasi, bahwa keterbukaan bukan gangguan, dan kritik bukan musuh.
Dan kepada para kepala desa, perangkat, atau siapapun yang merasa tersinggung oleh pengawasan publik, jawabannya sederhana,
Kalau bersih, kenapa harus risih….?
Red.