“Anak  Tentara Dibunuh! Ayah  Menggugat: Hukum Mati Atau Bubarkan Saja Indonesia Dan  Merah Putih

Jakarta, Media Pojok Nasional – Tragedi ini bukan sekadar kematian, tapi pembuktian telanjang bahwa negara telah gagal total melindungi warganya.
Sersan Mayor TNI Christian Namo, seorang prajurit yang selama ini mempertaruhkan nyawa demi bendera Merah Putih, kini harus menelan pil pahit: putra kandungnya, Prada Lucky Chepril Saputra Namo, tewas di tangan para pelaku penganiayaan brutal, yang ironisnya, diduga dilakukan oleh rekan dan seniornya sendiri di tubuh TNI.

Lucky bukan prajurit sembarangan. Pemuda 23 tahun itu baru lima bulan mengabdi pada negara. Ia dinyatakan lulus sebagai anggota TNI pada Februari 2025 dan dilantik pada Juni 2025 di Rindam IX Udayana, Singaraja, Bali.
Setelah pelantikan, ia tergabung dalam Batalyon Teritorial Pembangunan TP 834 Wakanga Mere dan mulai bertugas di Nagekeo pada 1 Juli 2025.

Kedatangan Lucky bersama 559 personel TP lainnya di Nagekeo menggunakan kapal angkut milik TNI AD, ADRI-L1. Salah satu misi Batalyon ini adalah membangun Markas Batalyon di Desa Tonggurambang, Aesesa, Nagekeo.

Namun takdir berkata lain,Hanya sebulan setelah bertugas, Lucky meregang nyawa. Ia diduga menjadi korban penganiayaan keji oleh rekan dan seniornya sendiri. Luka-luka yang dialaminya membuat ia harus dirawat intensif di ruang ICU RSUD Aeramo sejak Sabtu, 2 Agustus 2025. Namun nyawanya tak tertolong. Rabu, 6 Agustus 2025, prajurit muda ini menghembuskan napas terakhir.

Bagi Sersan Mayor Christian Namo, ini bukan sekadar kehilangan anak — ini adalah penghinaan terbesar bagi kehormatan prajurit dan bendera yang ia bela seumur hidup.

“Saya tentara merah putih, jiwa saya merah putih. Kalau bisa semua pelaku dihukum mati! Biar tidak ada Lucky-Lucky lain! Anak tentara saja dibunuh, bagaimana rakyat biasa mau selamat?!”

Namun kemarahan Christian tidak berhenti di situ. Ia melontarkan ultimatum perang yang membuat darah publik mendidih:

“Jangan uji kesabaran seorang prajurit yang kehilangan anaknya. Jika negara diam, jika hukum tidur, kami para prajurit yang setia akan bergerak sendiri. Kami tahu cara mencari pelaku, kami tahu cara mengeksekusi keadilan. Kalau negara gagal melindungi, maka jangan salahkan kami jika kami yang akan mengambil alih! Dan saat itu terjadi… jangan harap Merah Putih bisa kalian kibarkan dengan tenang!”

Pernyataan ini menjadi sirene bahaya bagi pemerintah.
Seorang prajurit yang sumpahnya melekat pada Merah Putih kini mengancam akan menegakkan keadilan dengan tangannya sendiri, bahkan jika itu berarti melawan sistem yang selama ini ia bela.

Ini bukan lagi sekadar kasus kriminal. Ini adalah cermin retak gagalnya sistem hukum, keamanan, dan kehormatan militer.
Jika anak seorang prajurit saja tak terlindungi dari kebiadaban, apa yang bisa diharapkan rakyat biasa?

Rakyat kini menunggu: apakah negara akan bangkit dan membuktikan diri, atau membiarkan kepercayaan rakyat terkubur bersama jasad-jasad yang tak terlindungi?

Red.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *