Oleh: Saiful — Jurnalis Spiritual
Surabaya Media Pojok Nasional – Refleksi tentang Munafik, Ketuhanan, dan Ketakutan Manusia Menanggung Cahaya.
Saiful tidak membuka renungannya dengan teori, ayat, atau istilah akademik. Ia justru memulai dengan pengakuan getir yang menampar nurani siapa pun yang mau jujur pada dirinya sendiri:
“Seng garai aku gak gelem ngerti, menungso iku lek onok butuhe tok njaluk, engko lek butuhe wes dituruti lali. Menungso seng terkutuk nang dunia iku menungso seng munafik. Kalau munafik karo menungso ae urusane karo menungso. Lek munafik karo seng gae urip, yo iku seng garai aku gak gelem ngerti.”
Terjemahan maknawi dari ungkapan tersebut mengandung kedalaman psikologis dan spiritual: manusia datang kepada Tuhan hanya saat butuh, lalu lupa setelah keinginannya terpenuhi. Kemunafikan di antara sesama manusia masih urusan duniawi. Tapi jika kemunafikan itu diarahkan kepada Sang Pemberi Hidup, maka di situlah letak kehancuran batin manusia. Itu pula alasan Saiful memilih tidak “terlalu mengerti.”
Ia melanjutkan renungannya dengan kalimat samar tetapi bernas: “Aku iki sakjane ngerti, tapi aku gak kepingin ngerti.”
Ini bukan bentuk kebodohan, dan bukan pula penolakan terhadap Tuhan. Yang hadir adalah rasa gentar eksistensial: ketakutan akan cahaya Ilahi yang terlalu terang hingga bisa membakar lapisan batin yang belum bersih. Ia sadar, semakin dalam seseorang memahami ketuhanan, semakin tampak cacat dirinya.
Saiful menuturkan dengan lirih:
“Ketika aku terlalu dalam memahami ketuhanan, aku merasa diriku kotor di hadapan Allah. Aku manusia, bukan malaikat. Dan aku takut.”
Ketakutan itu adalah kesadaran, bukan kelemahan. Karena ilmu yang membuka tabir akan menyeret manusia pada tanggung jawab batin.
Ilmu membuka tirai.
Tirai membuka aib.
Aib menuntut kejujuran.
Dan tidak semua hati siap berdiri di hadapan cahaya itu.
Menurutnya, manusia terbagi menjadi dua: yang tidak tahu dan tak mau tahu, serta yang sebenarnya tahu tetapi takut berpura-pura tahu. Saiful menempatkan dirinya di golongan kedua. Ia memilih waspada daripada menjadi penghafal kebenaran yang tak sanggup mempertanggungjawabkan pengakuannya.
“Jadi aku itu takut, pak. Aku lebih baik gak ngerti.”
Ia tidak anti-keilmuan. Ia hanya enggan menjelma menjadi orang yang merasa tahu, tapi sebenarnya sedang mempermainkan Tuhan. Dalam tradisi tasawuf ada istilah mahjub bil ‘ilm, terhalang dari Tuhan karena merasa sudah mengetahui-Nya. Saiful menjauh dari jebakan itu. Ia memilih diam daripada menjadikan ilmu sebagai kedok kemunafikan.
Dengan nada yang dalam dan jujur ia menegaskan:
“Aku sakjane ngerti… ning aku ora gelem dadi wong sing munafik nang ngarsane Sing Gawe Urip.”
Refleksi ini menegaskan bahwa memahami Tuhan bukan soal retorika, hafalan, atau kefasihan berkata “insya Allah.” Saiful menambahkan pandangannya yang menggugah kesadaran siapa pun yang berfikir:
“Kalau yang baca mau merenungi yakin dia akan cari bagaimana arti hidup yang sesungguhnya.”
Ia lalu menyingkap hakikat pencarian spiritual yang tidak bisa dipelajari hanya melalui teks atau ceramah:
“Kitap temen itu gk bisa pelajari tapi direnungkan nanti berjalan sendiri dengan berjalanya waktu pokok bener bener temen maka yang didapat kepastian dari Allah.”
Terakhir, Saiful menyentil kenyataan religius yang sering terdengar tapi jarang disadari kedangkalannya:
“Jadi bukan yang disampaikan para penceramah yang sering ngomong insya Allah, gk masuk, wong yang ceramah saja sudah tak yakin Karena arti dari insya Allah itu semoga Kan sudah jelas keraguan apa yang di minta kalau mereka bilang insya Allah Nek temen pasti Allah.”
Refleksi ini bukan pemberontakan, melainkan tamparan bagi jiwa yang berani bercermin. Cahaya tidak selalu datang lewat kata-kata para penceramah. Kadang, ia lahir dari keberanian mengakui ketakutan sendiri. Kesadaran paling tinggi bukan pada banyaknya hafalan, melainkan pada keengganan untuk menjadi munafik di hadapan Dia yang memberi hidup.
Saiful menutup sikap spiritualnya dengan pilihan yang matang: “Lebih baik aku waspada daripada sok paham, tapi sebenarnya munafik.”
Red. (hamba Allah).