Sidoarjo, Media Pojok Nasional –
Polemik dugaan penyimpangan realisasi anggaran Desa Wirobiting, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, terus bergulir dan kini memasuki fase yang lebih mengusik akal sehat publik. Persoalan ini tidak lagi berhenti pada proyek dan realisasi anggaran, melainkan merambah pada cara kekuasaan dijalankan oleh kepala desa itu sendiri.
Di balik upaya wartawan melakukan konfirmasi, terungkap pola komunikasi yang dinilai janggal, tidak lazim, dan sulit diterima secara logika pemerintahan. Hampir seluruh proses pengkondisian wartawan disebut-sebut dilakukan melalui seorang pria berinisial S, figur non-struktural yang tidak memiliki jabatan resmi dalam pemerintahan desa.
Setiap wartawan yang hendak menanyakan proyek desa, penggunaan anggaran, maupun klarifikasi kebijakan, dikabarkan tidak langsung berhadapan dengan Kepala Desa Wirobiting, M. Supriyadi. Sebaliknya, konfirmasi diarahkan, disaring, bahkan ditentukan melalui S. Yang membuat publik semakin heran, Kades disebut selalu berunding dan meminta pendapat S sebelum mengambil sikap atau memberikan pernyataan resmi.
Pertanyaan mendasarnya sederhana namun menghantam: bagaimana mungkin seorang kepala desa, pemegang mandat rakyat, justru menggantungkan urusan krusial yang menyangkut akuntabilitas publik kepada seseorang yang kredibilitasnya belum pernah diuji secara terbuka?
Apa pun yang disampaikan S kerap dituruti oleh Kades, seolah-olah pendapat S menjadi kompas utama dalam menentukan arah komunikasi publik. Padahal hingga kini, tidak pernah ada penjelasan resmi mengenai kapasitas, legitimasi, maupun dasar kewenangan S. Ia bukan perangkat desa, tidak memiliki surat tugas, dan tidak tercatat dalam struktur pemerintahan yang sah.
Dalam perspektif kepemimpinan publik, kondisi ini bukan sekadar kelalaian, melainkan anomali serius. Seorang pemimpin yang sehat secara tata kelola semestinya berdiri di depan, mengambil tanggung jawab penuh, dan menjawab langsung pertanyaan publik. Ketika kepala desa justru memilih berunding dengan figur yang statusnya tidak jelas, publik wajar mempertanyakan: siapa sebenarnya yang memegang kendali?
Lebih jauh, pola ini membuka ruang kecurigaan yang sulit dihindari. Tidak ada jaminan bahwa S benar-benar bertindak demi kepentingan kepala desa atau institusi desa. Justru sebaliknya, sangat mungkin terjadi manipulasi di belakang layar, penggiringan informasi, penyaringan sepihak, hingga pembentukan narasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Dalam skenario terburuk, Kades bisa saja menjadi korban dari informasi yang telah dipelintir tanpa ia sadari.
Secara keilmuan tata kelola pemerintahan, praktik ini mencerminkan sinergi yang keliru dan berbahaya. Transparansi digantikan oleh perantara informal, akuntabilitas dilemahkan oleh ketergantungan personal, dan kepemimpinan kehilangan kemandirian. Alih-alih meredam polemik, pola semacam ini justru memperbesar kecurigaan publik dan memperkuat dugaan adanya sesuatu yang ditutup-tutupi.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka persoalan Desa Wirobiting tidak lagi semata soal dugaan penyimpangan anggaran. Ia telah berubah menjadi krisis nalar kepemimpinan, di mana seorang kepala desa tampak lebih percaya pada bisikan figur tak teruji daripada berdiri tegak mempertanggungjawabkan kebijakan di hadapan publik.
Publik kini menunggu jawaban yang lugas: siapa S sebenarnya, atas nama apa ia mengatur wartawan, dan mengapa kepala desa begitu patuh pada arahannya? Tanpa klarifikasi terbuka dan sikap langsung dari Kades Wirobiting, bayang-bayang “pembisik” ini akan terus menempel, dan menjadi beban politik, etik, bahkan hukum bagi kepemimpinan desa itu sendiri. (hambaAllah).
