Mojokerto, Media Pojok Nasional –
Kebijakan kontribusi Dana Peningkatan Mutu (DPM) di SMAN 1 Bangsal, Kabupaten Mojokerto, kini menjadi perbincangan hangat di kalangan wali murid. Sebuah tangkapan layar dari forum pertemuan resmi menunjukkan pihak sekolah memaparkan rincian kebutuhan tahunan dengan total mencapai Rp3,48 miliar, yang ditanggung melalui DPM sebesar Rp230.000 per bulan dan Rp735.000 per tahun per siswa.
Dalam slide yang ditampilkan, tertulis: Kurikulum dan Pembelajaran: Rp1.833.900.000, Kegiatan Kesiswaan: Rp697.750.000, Sarana dan Prasarana: Rp642.700.000, Kehumasan: Rp314.000.000 dengan kebutuhan: Rp3.488.350.000.
Disebutkan pula jumlah siswa sebanyak 1.282 siswa, dengan perhitungan Rp2.721.021 per siswa per tahun atau Rp226.751 per bulan (dibulatkan menjadi Rp230.000).
Paparan tersebut menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Banyak wali murid menilai, presentasi itu seolah memberi kesan bahwa sekolah negeri tidak bisa berjalan tanpa dukungan dana tambahan dari orang tua murid.
Padahal, pemerintah telah menanggung seluruh biaya operasional sekolah melalui dana BOS, BOSDA, serta bantuan pendidikan seperti Program Indonesia Pintar (PIP).
Bahkan, guru PNS telah digaji langsung oleh negara, dan honor guru tidak tetap (GTT) juga telah dianggarkan dalam komponen BOS.
Lebih jauh, komponen sarana dan prasarana (sarpras) pun sudah termasuk dalam skema BOS, mencakup perawatan ringan, pengadaan alat pembelajaran, serta kebutuhan ruang kelas.
Dengan demikian, publik mempertanyakan alasan munculnya komponen “sarana prasarana” senilai Rp642 juta dalam paparan DPM tersebut.
“Kalau semua sudah dibiayai negara, kenapa masih muncul kebutuhan baru dengan nominal sebesar itu? Apakah tidak tumpang tindih dengan dana BOS?” ujar salah satu wali murid yang meminta namanya disamarkan.
Dalam forum wali murid, disebutkan bahwa dana DPM akan dikelola oleh komite sekolah untuk menunjang kegiatan pembelajaran dan mutu pendidikan.
Namun, sejumlah wali murid menyebut belum pernah menerima laporan resmi penggunaan dana secara periodik.
“Kami diminta membayar Rp230 ribu per bulan dan Rp735 ribu per tahun, tapi sampai sekarang tidak ada laporan tertulis ke mana uang itu digunakan,” ungkap salah seorang wali murid.
Kondisi tersebut menimbulkan kesan bahwa kontribusi wali murid bersifat wajib, bukan sukarela sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Akibatnya, muncul persepsi publik bahwa sekolah menjadikan DPM sebagai syarat tidak tertulis untuk kegiatan pendidikan.
Saat dikonfirmasi mengenai dasar perhitungan DPM dan kejelasan pengelolaannya, Humas SMAN 1 Bangsal yang dikenal dengan sapaan Pak Ulum memilih bungkam. Ia tidak memberikan keterangan resmi, baik secara tertulis maupun lisan, saat dihubungi. jumat (24/10/2025).
Sikap diam pihak sekolah menambah panjang daftar pertanyaan publik terkait transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana di sekolah tersebut.
Sejumlah pemerhati pendidikan menilai fenomena ini perlu menjadi refleksi bersama, bukan hanya di SMAN 1 Bangsal, tetapi juga di sekolah negeri lain yang menggalang dana tambahan.
“Sekolah negeri harus menjadi contoh keterbukaan publik. Jika ada program tambahan, sampaikan terbuka dan pastikan tidak menimbulkan kesan kewajiban,” ujar salah satu pengamat pendidikan Mojokerto.
Mereka juga menegaskan bahwa seluruh elemen pembiayaan operasional sekolah negeri sebenarnya telah diatur secara rinci melalui mekanisme BOS dan BOSDA.
Jika masih ada kebutuhan tambahan, mestinya disampaikan dalam forum terbuka dan bersifat sukarela, bukan penetapan nominal yang seragam.
Kini, SMAN 1 Bangsal berada di tengah sorotan publik, bukan karena prestasi akademik, tetapi karena kebijakan pembiayaan yang dinilai belum sepenuhnya transparan. (hamaAllah).
