Mojokerto, Media Pojok Nasional –
Rekaman joget di area yang disebut sebagai kantor Kecamatan Sooko terus memantik reaksi publik. Video tersebut memperlihatkan seorang pria berbaju lengan panjang berjoget bersama seorang penyanyi berbaju merah. Figur itu dikaitkan dengan Kepala Desa Tempuran, Slamet. Klarifikasi telah disampaikan, namun substansi persoalan tidak berhenti pada penjelasan lisan.
Fokus kritik masyarakat bukan pada musik atau tarian, tetapi pada lokasi kegiatan. Kantor kecamatan merupakan fasilitas negara yang digunakan untuk pelayanan administratif, bukan arena hiburan. Setiap tindakan pejabat publik di ruang resmi pemerintahan melekat dengan tanggung jawab etik, standar kepatutan, dan penghormatan terhadap simbol negara.
Preseden nasional sudah tercatat. Sejumlah anggota DPR RI pernah menjadi sorotan keras setelah berjoget di forum resmi. Mereka dinilai mencederai martabat lembaga, bahkan sempat muncul desakan pencopotan. Ukuran itu kini mencuat kembali di tingkat desa. Jika perilaku di Senayan bisa dipersoalkan secara etik, maka aktivitas serupa di fasilitas pemerintahan daerah tidak mungkin diabaikan.
Klarifikasi memang telah diberikan, namun tidak serta-merta menghapus kesan bahwa ruang negara digunakan tanpa mempertimbangkan batas kepatutan. Publik menafsirkan tindakan tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap marwah institusi. Sorotan timbul bukan karena video viral, tetapi karena status pejabat melekat pada sosok yang terekam.
Pertanyaannya kini bergeser dari konteks acara menjadi konteks jabatan, Jika anggota DPR RI bisa dimintai pertanggungjawaban karena berjoget di ruang negara, apakah Kepala Desa Tempuran layak tetap bertahan setelah aksinya terekam di kantor kecamatan?
Kekecewaan masyarakat tidak berhenti pada permintaan maaf atau klarifikasi. Ketika fasilitas publik diperlakukan layaknya ruang privat, yang terlukai bukan sekadar citra jabatan, tetapi kepercayaan warga terhadap tata kelola pemerintahan. (hamba Allah).