Mojokerto, Media Pojok Nasional –
Sebuah video kericuhan di SMKN 1 Jetis, Kabupaten Mojokerto, yang diterima redaksi, kini memicu sorotan publik. Rekaman tersebut memperlihatkan suasana tegang antara wartawan yang sedang menjalankan tugas dengan pihak sekolah bernama Ratno serta seorang bernama Zainul.
Dalam rekaman, Zainul terdengar menyebut dirinya juga berprofesi sebagai media/wartawan. Klaim profesi ganda semacam ini menimbulkan tanda tanya: bagaimana posisi tenaga pendidikan, khususnya ASN, yang pada dasarnya dituntut untuk fokus pada profesinya mendidik generasi muda?
Informasi dihimpun dari rekaman dan keterangan wartawan yang hadir pada rabu (17/9/2025): Wartawan datang ke sekolah setelah diarahkan oleh Humas SMKN 1 Jetis, Iswahyudi, yang saat itu sedang mengikuti diklat. Di sekolah, wartawan ditemui Ratno, lalu dipertemukan dengan Zainul. Komunikasi tidak berjalan mulus, wartawan kembali meminta Ratno untuk membantu menjembatani.
Namun dalam rekaman, Ratno kembali dengan nada tinggi dan berkata: “Aku kan cuma menemukan saja kok malah diseret-seret begini.” Kericuhan memuncak ketika Zainul terlihat mendekati wartawan dan memicu ketegangan karena merasa keberatan direkam dengan ponsel.
Semua fakta tersebut bersumber dari rekaman video dan konfirmasi pihak wartawan; redaksi menampilkan sebagaimana adanya, tanpa menambahkan asumsi di luar dokumentasi.
Secara aturan, tenaga pendidik yang berstatus ASN diikat oleh PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang melarang pekerjaan sampingan menimbulkan konflik kepentingan. Jika dilanggar, sanksinya berjenjang mulai dari teguran, penundaan kenaikan gaji/pangkat, hingga pemberhentian. Inti aturan ini sederhana: guru dituntut penuh waktu untuk mendidik, membimbing, dan memberi teladan.
Pertanyaan publik kini mengarah pada esensi, pendidikan karakter seperti apa yang bisa diharapkan, jika seorang guru mempertontonkan sikap keras dan memicu keributan di hadapan tamu? Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman, ramah, dan mendidik. Setiap kata, tindakan, hingga ekspresi tenaga pendidikan merupakan contoh hidup yang akan diserap siswa.
Jika yang ditampilkan adalah suara keras, komunikasi buruk, bahkan kericuhan, maka nilai pendidikan karakter menjadi kosong belaka. Insiden di SMKN 1 Jetis menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan tidak hanya soal kurikulum dan fasilitas, tetapi soal keteladanan nyata. Guru dan staf bukan sekadar pekerja formal, melainkan wajah moral yang dilihat setiap hari oleh siswa.
Oleh karena itu, publik menunggu langkah konkret dari Dinas Pendidikan Jawa Timur dan manajemen sekolah, klarifikasi resmi terkait insiden, evaluasi internal atas etika guru dan staf, serta penegasan kembali komitmen pendidikan karakter yang tidak boleh berhenti pada retorika.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Mojokerto, Mudianto, saat dikonfirmasi tidak memberikan jawaban.
Video kericuhan di SMKN 1 Jetis bukan sekadar cuplikan konflik. Ia adalah cermin besar yang mempertanyakan: jika teladan di sekolah rapuh, ke mana arah pendidikan karakter bangsa ini akan dibawa? (hamba Allah).