Jakarta, Media Pojok Nasional –
Upah Minimum Kota (UMK) Jakarta pada tahun 2025 tercatat sebesar Rp5,4 juta per bulan. Angka ini secara nominal meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2015 yang hanya Rp2,7 juta. Namun, bila dikonversi ke dalam nilai emas, tren tersebut justru menunjukkan kemunduran.
Pada 2015, UMK sebesar Rp2,7 juta setara dengan 5 gram emas. Sepuluh tahun berselang, dengan UMK Rp5,4 juta, daya belinya hanya setara 2,8 gram emas. Artinya, meskipun nominal upah meningkat, nilai riilnya atau daya beli terhadap aset riil seperti emas mengalami penurunan hampir 50 persen.
Fenomena ini menandakan bahwa peningkatan upah tidak sebanding dengan laju inflasi dan depresiasi mata uang. Kenaikan nominal gaji yang tampak di permukaan ternyata tidak cukup untuk mempertahankan standar hidup pekerja, jika dilihat dari indikator nilai tukar terhadap komoditas global seperti emas.
Data ini mengindikasikan persoalan struktural dalam sistem moneter modern, di mana mata uang fiat (tanpa jaminan aset riil) kehilangan nilainya secara gradual seiring waktu. Akibatnya, pekerja dengan penghasilan tetap menjadi kelompok paling rentan terdampak oleh inflasi laten yang tak kasat mata.
Realitas ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah peningkatan upah benar-benar mencerminkan kemajuan ekonomi, atau justru menutupi fakta bahwa nilai mata uang terus tergerus?
Seiring dunia menyongsong era digital dan ketidakpastian ekonomi global, narasi “kenaikan gaji” tanpa analisis nilai riil berpotensi menjadi fatamorgana yang menyesatkan publik. Di balik angka yang meningkat, tersimpan kenyataan bahwa uang semakin kehilangan kekuatannya. (hamba Allah).